Tukang komen dan caci maki dengan akun fake di medsos juga punya gaya sendiri dalam menuliskan pendapatnya. Bahkan yang dibayar untuk komen dan meramaikan sebuah tayangan dengan like dan komen juga punya filosofi. Paling tidak mereka sempat berfikir lain sebelum akhirnya melempar kebusukan demi kebutuhan.
Prilaku seperti ini tentu dengan mudah mendapat cap dari kelompok lain yang percaya kalau rizki dikais tidak harus seperti itu. Walaupun mereka tahu potret kehidupan tidak bisa ditolak memang berwarna-warni.
Kita sering empati kepada orang yang nyata-nyata miskin dan cacat, tapi kita sering memusuhi orang yang miskin dan cacat prilakunya. Padahal keduanya sama butuh sedekah. Karena sedekah bukan hanya mampu secara harta tapi hakikatnya kemampuan ikhlas. Ketika kita mendapatkan orang yang miskin prilakunya, maka yang bisa kita lakukan memberinya nasihat yang bijak dan damai. Mereka sudah lama terusir dari dirinya sendiri. Perlu diapresiasi.
Berkenaan dengan itulah penulis menyajikan Iwan Simatupang.
Berkenalan Dengan Iwan Simatupang
Iwan Maratua Dongan Simatupang, lebih dikenal sebagai Iwan Simatupang lahir di Sibolga, Sumatra Utara, 18 Januari 1928. Iwan menghabiskan waktu kecilnya dengan belajar mengaji dari orangtuanya.
Iwan Simatupang adalah pejuang sekaligus sastrawan. Dia pernah menjadi komandan pasukan Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP). Dia tertangkap dalam penyerangan kedua polisi belanda tahun 1949 di Sumatera Utara.
Dari tahun 1966 sampai 1970, menjadi guru SMA di Surabaya, sebagai redaktur harian berita Siasat, dan terakhir menjadi redaktur Warta Harian.
Iwan Simatupang awalnya menulis sajak lalu mengutamakan menulis esai, cerita pendek, drama dan roman. Karya-karyanya itu dimuat di majalah Siasat dan Mimbar Indonesia mulai tahun 1952.
Iwan Simatupang lulus dari Hoogere Burgerschool (HBS), Sekolah Menengah Umum Hindia Belanda di Medan. Walaupun tidak selesai pernah sekolah di Nederlandsch Indische Artsen School (Sekolah Dokter Hindia Belanda) di Surabaya, sekolah dokter itu dikenal dengan singkatan NIAS .
Dari tahun 1954-1956 belajar antropologi di Universitas Leiden. Pernah belajar drama di Amsterdam. Dia juga belajar di Full Course International Institiute for Social Studies di Den Haag dan Ecole de l'Europe tahun 1957. Selain itu, di tahun 1958 dia belajar filsafat pada Prof. Jean Wahl di Universitas Sorbonne, Paris, Prancis.
Iwan Simatupang wafat pada tanggal 4 Agustus 1970, setelah kurang lebih 40 tahun berkarya di bidang sastra.
Kesan Iwan Simatupang
Pertama
kali berkenalan dengan Iwan Simatupang tentunya lewat salah satu karyan novelnya berjudul Merahnya Merah. Novel yang mendapat
hadiah sastra Nasional 1970 ini bagi penulis sangat dasyat. Awalnya aneh ada novel
dengan penyampaian yang bernas, namun seperti mengoceh. Heranya saya makin
penasaran membacanya. Bahkan pikiran – pikiran saya sepertinya dipertemukan
dengan keinginan menulis dengan gaya bebas. Tidak terpenjara tata bahasa, tidak
terjerat kata – kata yang indah. Tapi sarat dengan kekuatan emosi yang bisa membuat
pembaca larut dan mengerti pengalaman batin si penulis. Karena seburuk apapun
pengalaman yang mampu dituangkan dengan tulisan tetap sebuah hasil perenungan.
Iwan
tidak rumit terjerembab dalam penokohan dewa-dewi seperti cerita sinetron. Dia
telah jauh merambah langitnya Jaya Baya. Seorang tokoh ideal tidak harus
sempurna fisiknya tapi punya kekayaan batin bak malaikat turun ke bumi. Tokoh kita yang menjadi sentral cerita
dalam novel merahnya merah dibiarkannya melaut dengan segala macam nafsu dan kekuatan
kebenaran. Dia seperti hakim yang tak perlu menjatuhkan vonis untuk terdakwa.
Kalau menyimak karya-karya fiksi lainnya, Iwan memang seperti penulis spesialis penggali filosofi orang-orang pinggiran yang dia sebut sebagai manusia marginal atau manusia perbatasan. Bahkan dia sebut tokoh-tokohnya sebagai manusia eksistensialis.
Pola pikir dan filosofi eksistensialisme itu mengutamakan kebebasan memilih dan tanggung jawab. Filosofi yang meyakini bahwa kehidupan tidak memiliki makna tertentu. Setiap orang bebas menentukan makna kehidupan sesuai pendapat masing-masing.
Kalau demikian, nampaknya generasi milenial yang berkarakter individualis harus berkenalan dengan dengan karya-karya sastra almarhum, karena Iwan Simatupang tidak konvensional. Sama-sama tidak ingin ada sangkut pautnya dengan generasi sebelumnya.
Iwan Simatupang di Mata Tokoh Dunia dan Sastrawan
Menurut Benedict Richard O'Gorman Anderson (26 Agustus 1936 – 13 Desember 2015), seorang sejarawan dan pakar politik dunia, ada dua orang penulis fiksi yang berpengaruh dari Indonesia sejak kemerdekaan. Keduanya memiliki kelekatan yang kuat dengan realisme gaib (magical realism), yaitu Iwan Simatupang dan Putu Wijaya.
Kalau menurut Dami Ndandu Toda atau Dami N. Toda, seorang kritikus sastra Indonesia, Karya-karya Iwan Simatupang mempunyai ciri-ciri: bertema kesunyian hidup, dengan tokoh yang tak punya darah daging, alur ceritanya serba tak terduga, gayanya menyelaraskan kualitas ekspresi ke dalam bahasa kisahan.
Sedangkan menurut Prof. Dr. H. Budi Darma, M.A. (25 April 1937 – 21 Agustus 2021), seorang sastrawan, kritikus sastra dan akademisi Indonesia, Iwan Simatupang itu pengarang realis. Maka dalam karya-karyanya dia akan menulis berbagai realita pada waktu itu secara “harfiah,” tapi karena Iwan Simatupang bukan tipe itu, maka realita yang dia hadapi sehari-hari dia angkat ke dunia abstrak, ke dunia absurd, dan ke dunia surealis.
Kalau anda senang menulis prosa fiksi, Budi Darma termasuk pengarang yang revolusioner selain Danarto, Putu Wijaya, dan Iwan Simatupang sendiri. Karya-karya sastra mereka bisa dibeli via internet. Lalu anda akan berkenalan dengan penggunaan teknik bercerita kolase. Rada asing memang.
Kolase adalah kreasi atau karya seni dua dimensi yang dibuat dengan cara menggabungkan atau menempel potongan, pecahan, atau kepingan bahan pada sebuah gambar sehingga menghasilkan bentuk yang baru. Nah, coba bayangkan kalau tehnik karya seni ini diterapkan dalam tehnik bercerita. Menurut penulis seru.
Karya-karya Iwan Simatupang
Drama
Bulan Bujur Sangkar (1960)
Petang di Taman - drama sebabak (1966, judul asli Taman)
RT Nol /RW Nol - drama sebabak (1966)
Sajak
Ada Dukacarita di Gurun, dimuat majalah Siasat edisi 6 Juli 1952.
Ada Dewa Kematian Tuhan
Apa kata Bintang di Laut
Ada Tengkorak Terdampar di Pulau Karang
Puisi-puisi itu dimuat di majalah Siasat Baru edisi 30 Desember 1959.
Ziarah malam: sajak-sajak 1952-1967 - penyunting: Oyon Sofyan, S. Samsoerizal Dar, catatan penutup, Dami N. Toda (1993)
Sketsa
Ketika menjadi wartawan Iwan menulis di kolomnya sketsa tentang orang-orang terpinggirkan
Oleh-oleh untuk Pulau Bawean
Prasarana; Apa Itu Anakku?
Aduh… Jangan Terlalu Maju
Atuh!
Husy! Geus! Hoechst!
Di Suatu Pagi
Seorang Pangeran Datang dari Seberang Lautan
Dari Tepi Langit yang Satu ke Tepi Langit yang Lain.
Novel
Merahnja merah (1968)
Ziarah (1969).The Pilgrim - terjemahan bahasa Inggris oleh Harry Aveling (1975)
Kering (1972). Drought - terjemahan bahasa Inggris oleh Harry Aveling (1978)
Kooong: kisah tentang seekor perkutut (1975)
Ziarah - novel (1983). Ziarah – terjemahan bahasa Perancis (1989)
Cerita Pendek
Monolog Simpang Jalan
Tanggapan Merah Jambu tentang Revolusi
Kereta Api Lewat di JauhaI
Patates Frites
Tunggu Aku di Pojok Jalan Itu
Tegak Lurus dengan Langit
Tak Semua Tanya Punya Jawab
Surat-surat
Surat – surat politik Iwan Simatupang, 1964-1966 (1986, penyunting: Frans M. Parera)
Esai
Kebebasan pengarang dan masalah tanah air: esai-esai Iwan Simatupang, editor, Oyon Sofyan, Frans M. Parera (2004)
Sejumlah Masalah Sastra - kumpulan esai (1982, penyunting: Satyagraha Hoerip)