Pesta demokarasi pemilu dan pilkada tahun 2024 segera menjelang. Pesta lima tahunan ini disepakati DPR dan pemerintah dengan besaran dana Rp 76,6 triliyun. Tentu saja indonesia bisa membuat pesta semahal itu tetap riang gembira. Jumlah penduduk muslim 87,02% jaminannya. Sementara Pancasila sebagai ideologi negara juga ampuh membuka wawasan ketuhanan.
Agama Dan Pancasila
Agama islam seperti pada umumnya semua agama, lebih mencintai perdamaian daripada peperangan. Seperti dulu pernah dipraktekan agama ini ketika terjadi perjanjian damai hudaibiiyah. Isi perjanjian damai yang disodorkan kaum jahiliyah mekah ini, mengandung poin yang dipandang merugikan kaum muslim madinah. Tapi Rosululloh saw tetap menandatangani perjanjian itu. Perdamaian dalam kondisi apapun akan melapangkan dakwah untuk menerangi orang-orang yang gelap dengan nafsu serta mabuk keyakinan lama. Perjanjian hudaibiiyah akhirnya dilanggar pengasongnya, karena ternyata merugikan mereka sendiri.
Negeri ini punya dasar negara Pancasila, ideologi negara yang sudah teruji kokoh dan tak berubah. Kelima dasarnya begitu jelas dan sederhana, membuatnya bertahan dalam dinasti politik orde baru yang bercokol berpuluh tahun. Penerapan Pancasila saat itu dipakai untuk melanggengkan kekuasaan dan penindasan ideologis yang membuat orang-orang kritis dengan gagasan kreatifnya takut bersuara. Apalagi kalau berani menyulut istilah politik dinasti, bisa jadi bom bunuh diri.
Meski begitu tetap efektif untuk mencegat benturan antar agama. Dengan alasan negara berdasarkan pancasila berhasil meredam keinginan radikal agar negara ini menjadi negara agama. Meski Pancasila dimanfaatkan untuk mempertahankan status quo.
Seperti pada umumnya sebuah kebenaran, Pancasila mampu tetap eksis dalam kondisi apapun. Ketika nilai-nilainya tidak terserap dalam kepribadian bangsa, dia tetap mampu menjaga keutuhan bangsa dalam kemajemukan. Kebenaran selalu membuat jalan panjang, sampai kita bisa menggali nilai-nilai luhurnya dan kemudian membuatnya menjadi legenda kebenaran. Kesaktian pancasila bukanlah hal yang sakral tapi waktu telah membuktikannya dasar negara ini patut dibela mati-matian.
Kekuasaan
Seagung apapun sebuah ideologi (keyakinan) kalau tidak terwujud sama saja dengan takhayul, seperti roh gentayangan. Hanya efektif untuk menakut-nakuti dan digunakan para penjajah melanggengkan kekuasaan. Menguasai tanah jajahan efektif dengan menakut-nakuti penduduknya dengan keyakinan yang hiruk pikuk dengan ancaman hukuman. Sehingga keyakinan itu membuat rakyat jajahan takut, bodoh dan malas.
Demi keyakinan rakyat seperti itu bisa memberikan hartanya dengan suka rela tanpa harus dijambak pajak. Bahkan dikawinkan dengan bom untuk membunuh prikemanusiaannya juga tebukti mau.
Harapan tentang akan adanya ratu adil jangan-jangan bagian dari cara-cara penjajah supaya rakyat jajahan tetap mereka kuasai. Pemimpin yang adil dan bijaksana tetap di alam ghoib agar rakyat jajahan tetap tidak punya pemimpin diantara mereka. Pemimpin yang sama seperti mereka, rakyat biasa, punya kelebihan dan kelemahan.
Demi kekuasaan seorang pribadi bisa saja mengorbankan kepentingan orang banyak, tapi bisa juga mengurbankan kepentingan materi yang gemerlap. Dia bisa saja berpenampilan sederhana seperti seorang sufi atau biksu. Sepertinya kebutuhan badan sudah lama dia lewati. Syahwatnya kini jadi gelora yang lebih luhur, menancapkan kekuasaan yang kuat dan luas. Sehingga sejarah akan mengenangnya.
Atau bisa jadi memang dia seperti kresna, seorang suci, guru pandawa dan kurawa yang ingin memunculkan sebuah kebenaran dengan mengembalikan keseimbangan kebenaran dan kesalahan. Sehingga kedua kubu itu harus melewati segala trik politik dan pertempuran.
Siapa Yang Tidak Tahu Politik Dinasti?
Menjelang pemilu tahun 2024 istilah politik dinasti dan dinasti politik terus mewarnai media sosial dan media mainstream. Informasi tiba-tiba menjadi buram oleh pernyataan-pernyataan bombastis. Reformasi terdengar lagi jadi menu yang disajikan, dihangatkan kembali untuk jadi materi gugatan. Narasi puja-puji dari survey kepuasan masyarakat tentang kinerja pemerintah hampir sepuluh tahun, tiba-tiba seperti kata urang sunda " Halodo sataun lantis ku hujan sapoe". Begitu basi tidak lagi menggairahkan.
Kini dinasti politik menjadi menu yang seksi. Maka episode berikutnya diam-diam menakjubkan. Kadrun, cebong, kampret hampir tak terdengar lagi saling mencaci maki. Mungkin bersatu menjadi pejuang konstitusi sambil malu-malu nonton kanal youtube yang dulu mereka benci karena dianggap buzzer pemerintah sampai sebutan buzzer Rp.
Dasyat memang, reformasi saja kalah cepat dengan perubahan arah para penggiat medsos ini. Mereka sekarang satu nyanyian dalam himne mahkamah keluarga dan haus kekuasaan. Orkestra ini tak tanggung-tanggung diramaikan dengan tokoh hukum, budayawan, jurnalis dan banyak lagi yang segera disebut tokoh. Katanya mereka ramai-ramai turun gunung.
Masalahnya kalau beberapa waktu yang lalu ada seorang tokoh yang sering turun gunung, bisa dimaklumi tidak ketahuan kapan naiknya. Lha kalau ramai-ramai turun gunung, keterlaluan kalau tak ketahuan naiknya. Atau mereka ada yang menerbangkannya ke gunung.
Sayang proyek internet 4G untuk daerah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T) keburu dikorupsi, sehingga masyarakat di peloksok Indonesia belum semuanya bisa menyaksikan tontonan menarik menjelang pemilu ini. Mungkin mereka lebih tertarik dengan kenyataan kalau jalan-jalan yang bagus sekarang menjangkau dusun dan kampung mereka
Belum ada survey yang membuktikan kalau sebagian besar penduduk Indonesia setuju telah terjadi pelanggaran konstitusi akibat haus kekuasaan. Atau telah terjadi konspirasi di MK sehingga bisa meloloskan mas Gibran menjadi calon wakil presiden mendampingi bapak Prabowo. Bahkan masih banyak yang tidak tahu apa itu dinasti politik.
Barangkali ketika dua orang keluarga presiden terpilih jadi walikota, belum penting dinasti politik ditembakkan, takut jadi peluru nyasar. Baru menjelang pilpres terasa bau jenggot terbakar. Mungkin di jas presiden ada korek api yang tersimpan rapi di saku rahasia.
Lalu narasi ketakutan segera disajikan dengan tema kekhawatiran kalau panitia pemilu, polisi dan ABRI tidak netral. Begitu tak terbatasnya kah kekuasaan seorang presiden? Begitu rentannya kah aparat pemerintah menjadi alat presiden secara pribadi? Jawabannya sudah mulai pada muncul di medsos "neo orde baru".
Memang begitulah yang namanya pesta, bung. Apalagi kalau pesta ini dipakai sebagai perburuan suara rakyat, segala macam makanan segera disajikan sebagai umpan. Peserta harus mematut diri dalam baju meriah dengan kosmetik tebal, kalau perlu memakai topeng. Harus tampil beda dong, kendati sama berpakaian pesta. Kalau perlu seperti cinderella, jadi epos dizalimi biar para peri dari kahiyangan segera menggerakkan tongkat ajaibnya agar tikus-tikus berubah jadi pengawal setia kereta kencana. Biarpun itu "tikus-tikus kantor".
Di sebuah pesta tidak heran kalau raja bersaing dengan raja. Pangeran saling bersinggungan dengan pangeran dan tentu saja dinasti sedang saling tuding dengan dinasti. Meski mereka menguasai panggung dan semua corong suara, tetap saja ini pesta demokrasi, pesta rakyat. Meski rakyat jadi penonton, suara mereka adalah suara tuhan.
Jadi harus hati-hati kalau membeli suara mereka dengan uang recehan. Bisa tekor, karena mereka sudah tidak peduli uang receh itu warnanya apa. Bagi mereka yang penting uang. Suara tuhan memang tidak go publik di pasar suara. Apalagi hanya dibeli oleh kaos dari kain murah yang asal jelas gambarnya. Memangnya rakyat pemandu sorak.
Begitulah yang namanya pesta demokrasi ini, tak segan menggelontorkan uang triliyunan agar rakyat bergembira memilih wakilnya yang siap melayani mereka. Betapapun yang maju untuk dipilih adalah seorang pegusaha, sang jendral atau dinasti politik, rakyat bukan sedang memilih sang raja, tapi pelayan mereka.
Politik Dinasti
Politik dinasti menurut wikipedia adalah kekuasaan yang secara turun temurun dilakukan dalam kelompok keluarga yang masih terikat dengan hubungan darah. Tujuannya untuk mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan. Sedang dinasti menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), adalah keturunan raja-raja yg memerintah, semuanya berasal dari satu keluarga.
Politik dinasti menurut Yossi Nurmansyah, ST dalam babel bawaslu provinsi kepulauan bangka belitung, adalah merupakan sebuah serangkaian strategi manusia yang bertujuan untuk memperoleh kekuasaan, agar kekuasaan tersebut tetap berada di pihaknya dengan cara mewariskan kekuasaan yang sudah dimiliki kepada orang lain yang mempunyai hubungan keluarga dengan pemegang kekuasaan sebelumnya.
Oleh karena itu politik dinasti harus bisa melewati lubang jarum, karena dalam sistem demokrasi Indonesia presiden sampai walikota dan bupati dipilih langsung oleh rakyat.
Dinasti Medsos
Medsos Youtube paling banyak digemari untuk mencari cuan. Media ini sudah mengalahkan media mainstream dalam banyak hal. Terutama dalam kebebasan tema untuk konten. Selain itu biaya pembuatan videonya juga jelas tak perlu biaya mahal dengan studio khusus. Para penggiat di media ini lebih bisa mengeksfresikan apapun. Hampir tidak terjerat kode etik jurnalistik yang selama ini menjadi aturan main di media mainstream.
Isu yang paling mudah untuk dieksploitasi tentu saja isu politik. Seperti juga para politisi dan aktivis partai, di konten politik para youtuber juga bisa bermain akrobat. Mengikuti kemana angin berhembus. Dengan jumlah subscriber dan views ribuan tentu menjadi harga jual yang menggiurkan bagi para kontestan pemilu, seandainya mau dibeli. Atau sudah dari awal dibayar?
Kalaupun harus berbalik arah dukungan tidak jadi soal. Bahkan tudingan yang berbau fitnah pun bisa segera diselimuti peresis gaya politisi yang kadung dengan istilah "dalam politik semuanya cair". Seperti air di atas daun talas. Sebuah gaya bebas dalam memburu cuan. Hasilnya aman dari pemeriksaan KPK.
Maka pernah ramai juga istilah para buzzer, buzzer Rp. Dua kali pemilu di tahun 2014 dan 2019 yang panas dengan polaritas: cebong, kampret dan kadrun, para youtuber berhasil mendulang dolar. Di kelompok manapun mereka berada, tetap berhasil memamfaatkan keadaan. Gampang, ko, memanajemen emosi para akun fake. Syukuri saja dengan tidak baperan, mereka itu sudah membeli kuota untuk menonton dan melontarkan caci maki. Yang penting jadi cuan.
Begitulah dinasti medsos dibangun di tengah masyarakat kota.
Comments