Pilkada 2024 lenggang, partisipasi masyarakat hanya 68%. Lumayan jomplang sama pemilu presiden yang 80%.
Krisis Demokrasi
Waktu pilpres 9 bulan sebelum pilkada serentak emang seru, saking serunya ada yang berteriak money politic makin brutal. Karena susah dibuktikan, lalu ditangkis dengan ledekan, kalau demokrasi akan berhasil saat rakyat Indonesia sudah sejahtera.
Jadi maksudnya suara rakyat yang suara tuhan itu ga bisa ditukar sembako? Masa? Kalau rakyat sebel gimana? 9 bulan yang lalu di pilpres saling banting di dipilkada tiba-tiba saling kerling. Malah pegangan tangan bak orang pacaran.
Semuanya serba mungkin seh. Sistem demokrasi dibela-belain juga bukan budaya kita. Tapi mau apa lagi kalau sistem demokrasi sudah dianggap budaya modern. Budaya adiluhung paling ideal.
Budaya negeri paman sam. Si mang yang duluan mendarat di bulan, yang sekarang sedang mengincar mars. Yang dari dulu berteriak liberti, sampai bikin patungnya segala.
Kalau masih mau monarki harus jadi raja minyak seperti Saudi. Atau kerajaan Inggris Raya. Kan di Saudi ga ada pemilu bukan karena rakyatnya udah ga mempan disogok sembako.
Masa jadi nuding kerajaan Inggris kalau sang raja belum bisa mensejahterakan rakyatnya. Hingga harus ngadain pemilu buat milih perdana menteri.
Demokrasi ga bisa diukur dengan kiloan sembako macem begitu, coy. Demokrasi adalah sistem tersakral di bumi ini. Negara mana coba yang brani bikin sistem lain?
Dikutuk seluruh dunia baru nyaho. Suara masyarakat dunia ada di pbb. Gedung pbb ada di negara si mang. Ya, gimana si mang lah. Mau jualan demokrasi ke, mau jualan pecel lele ke. Bebas.
Mending masih ada negara yang punya kerajaan, daripada pernah punya kerajaan hanya jadi kebanggaan doang. Apalagi sudah dibumbuin kisah perebutan kekuasaan hingga gampang diadu domba di jaman belanda.
Sejarah kerajaan-kerajaan kita kok ujung-ujungnya nyelekit ya?
Tambah bergidik kita sama sistem kerajaan yang dulu pernah bikin rakyat adil makmur loh jinawi. Padahal meski akhirnya tinggal prasasti, apa ada yang berani nuduh sistem kerajaan kita dulu itu copas?
Berdasarkan populasi penduduk, Unit Intelijen Ekonom (EIU) dan Divisi Kependudukan PBB, menyebut Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ke-3 di dunia.
Pantes begitu partisipasi masyarakat di pilkada anjlok kita baper. Udah masuk 3 besar nanti melorot ke-5 besar gimana jadinya. Apa perlu ada evaluasi kalau terbesar ke-3 itu berdasarkan populasi? Bukan berdasarkan kualitas berdemokrasi.
Kok kpu yang harus evaluasi? Mau ngajak-ngajak partai juga? Ga takut dikasih jurus bersilat lidah. Ilmu belut dari negeri siluman.
Kabarnya ilmu licin seperti ini gimana posisi keuangan. Makin banyak uang makin licin. Saking licinnya sampai-sampai ada yang bikin sayembara. Disediakan hadiah 10 juta bagi yang bisa tangkap tangan politik uang di pilkada.
Bagi yang punya bukti, ternyata ada yang bisa menangkap tangan pelaku money politic di pilkada 2024 bisa komen di bawah biar meriah.
Apa jadinya kalau yang bikin sayembara ini wara-wirinya di pilpres 9 bulan yang lalu? Masih kah partisipasi masyarakat 80%?
Tantangan Demokrasi di Abad 21
Mengapa ga ada yang berani mengevaluasi sistem demokrasi? Jangan-jangan ini wilayah langit. Sistem demokrasi jadi mulai tabu dikritisi. Mulai sakral seperti benda pusaka di jaman kerajaan.
Lihat aja motonya, suara rakyat adalah suara tuhan. Beraat masbro, sudah bawa-bawa tuhan segala.
Apa kalau sistem kerajaan bisa membuat rakyatnya sejahtera, perlu juga dievaluasi? Atau malah langsung diabkir? Sudah ga modern.
Toh negara besar seperti Inggris, Jepang, Saudi masih keukeuh sistem monarki. Sistem kerajaan.
Padahal sistem kerajaan juga bisa punya moto, bahwa suara raja adalah suara tuhan. Kan ga ada yang melarang pernyataan, suara tuhan adalah suara rakyat? Berarti boleh dong sistem kerajaan juga maen klem?
Sistem demokrasi apa liberal seh sampai sebebas itu?
Mungkin saja masyarakat males berpartisipasi dalam pilkada lantaran ga kenal calon pemimpinnya. Cuma lihat gambar-gambar yang bombastis menyengat bau iklan.
Serta janji-janji bikin hatiku keki. Akhirnya masyarakat jadi terus bernyanyi, jangan janji dan jangan datang lagi. Itu lagu lama.
Begitu Pak Jokowi lengser langsung pada lupa neh blusukan. Memilih koar-koar di medsos show up klo ga gaptek. Biar pemilih muda yang merajai total pemilih di Indonesia pada kepincut. Dikira bisa temenan mabar.
Kalau begitu apa bedanya dengan sang raja yang kita bayangkan cuma bisa ngejoggrog di singgasana. Tinggal nerima laporan yang abs. Asal bapak senang.
Ga mungkin kerajaan bisa sejantan Sriwijaya atau semacho Majapahit kalau sang raja begitu perilakunya. Adil makmur loh jinawi itu sebuah sinergi. Bukan diskriminasi membuat dinding abu-abu tuan dan jongos.
Makanya Raja-raja di jaman dulu dianggap titisan dewa karena seluruh jiwa raganya dipakai menjambangi suara tuhan. Suara rakyat kan?
Apa masyarakat yang kritis itu cuma ada di zaman milenial dan gen z mulu? Atau lantaran sistemnya kerajaan negara jadi balik ke zaman jurassic. Aps Jepang, Inggris dll ga begitu ?
Ini bukan persoalan sistem negara. Ini persoalan liberti yang cuman jadi patung. Biar patungnya segede benua Amerika kalau cuma slogan tetap jadi berhala.
Kita ini sibuk banget dengan segala macam slogan dan nama. Dengan istilah-istilah baru tapi barang lama.
Kalau dulu buang hajat jongkok pakai bambu di atas empang. Sekarang ada toilet modern bisa sambil duduk. Sama-sama buang hajat. Ya, toh ?
Emang yang ada dipikiran rakyat itu sistem demokrasi dan hitung-hitungan suara? Atau program para calon pemimpin daerah?
Coba mengadakan jejak pendapat dengan dua pilihan antara demokrasi dan kesejahteraan. Atau antara kerajaan dan kesejahteraan.
Whadoh ga aple to aple, ya?
Jadi siapa lagi sekarang yang mau berteriak revolusi mental?
Comments