Siapa yang tak kenal puisi? Kalau dikonotasikan sebuah kebebasan mengekspresikan perasaan dalam bentuk tulisan. Jawabannya iya. Tapi kalau kemudian diartikan bahwa perasaan itu tidak melulu antara manusia dengan manusia, tentu kita akan takjub. Karena asal kata puisi secara etimologis dari bahasa yunani yaitu poesis yang berarti penciptaan.
Dimantrai atau dijampean?
Lalu kita mengenal kalau mantra adalah puisi tertua di Indonesi. Mantra dan syair disebut sebagai puisi lama dalam sejarah puisi. Nampaknya pengertian lama bukan tidak laku lagi disini. Abah ingin lebih menyebut sebagai puisi mengandung mantra dan syair.
Mantra masa tidak kenal. Paling tidak pikiran kita langsung sontak ingat jampe-jampe. Sesuatu yang mistis atau gaib. Suatu kata atau rangkaian kata yang mengandung kekuatan sihir. Dan yang menguasainya bukan orang biasa, tapi orang-orang tertentu yang kita kenal sebagai dukun atau pawang.
Mantra sendiri asalnya merupakan tradisi weda di India yang dipraktikan sehari-hari oleh agama Budha, Sikhisme dan Jainisme. Sekarang mantra tersebar oleh gerakan spiritual berdasarkan tradisi dan agama ketimuran.
Sementara syair tentu saja dinisbatkan pada seluruh kalimat-kalimat yang ada dalam kitab suci. Seperti kata-kata seorang penyair ulung yang disuruh menghadapi isi Al-Quran yang dibawa rosul. Katanya, isi Al-Quran yang diungkapkan rosul merupakan syair yang indah. Dan dia merasa tidak sanggup menandinginya.
Dua pengertian di atas memberi ilustrasi yang jelas kalau puisi punya nilai kebebasan dan mistis. Oleh karena itu dalam pengungkapannya kita sepakat dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia puisi adalah ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama, matra, rima, serta penyusunan larik dan bait.
Biasanya kita juga suka mendadak berusaha berbahasa halus dan teratur jika berhubungan dengan sesuatu yang kita cinta atau kagumi. Apalagi kalau sesuatu itu mempunyai sosok yang paripurna. Kadang kita refleks mengucapkan pujiaan dengan kata-kata yang indah, walaupun terbata-bata. Puisi jadi punya daya ungkap perasaan yang dasyat, karena tidak hanya sekedar berhubungan dengan kepuasan biologis tapi juga jauh menjangkau ke wilayah keyakinan penciptaan dan sang pencipta.
Seadanya itu keindahan
Barangkali ketika si Binatang Jalang, Chairil Anwar, memperkenalkan puisi-puisinya ke HB Jassin tahun 1943, kita jadi mengenal puisi yang lebih bebas dan tidak terikat oleh permainan rima dalam menggunakan kata-kata dalam bait-bait puisi. Sehingga puisi benar-benar menjadi ekspresi seadanya dari kondisi psikis seseorang dalam menyikapi Zamannya.
Maka dalam puisi-puisi sekarang kita tidak sekedar memperoleh keindahan kata-kata dalam merangkai kalimat. Rengekan dan erangan yang ringkih dalam puisi kerap menjadi warna tersendiri. Bahkan ungkapan tak senonohpun menjadi khazanah bagi puisi. Bukankah kesederhanaan yang bisa cepat dipahami oleh orang-orang biasa juga merupakan keindahan? Atau kita perlu diskusi dulu untuk mencari contoh puisi rakyat?
Akhir-akhir ini tak begitu banyak perbincangan mengenai puisi. Tidak lagi banyak acara lomba puisi. Pembahasan puisi hanya jadi menu para akademisi. Teknologi komunikasi yang makin mudah, seperti mantra bagi budaya instan yang lebih digandrungi daripada merenung berlama-lama. Padahal diyakini kitab suci tersusun dengan bahasa yang indah, bahkan diyakini sebagai syair terindah adalah perenungan agung kanjeng rosul di gua hira. Kekuatannya bukan karena mampu dijadikan jampe-jampe tapi jauh mencungkil motivasi.
Kekuatan yang didapat dari hasil perenungan dan dialog dengan sang maha pencipta, sesungguhnya adalah semangat kebebasan untuk tidak terikat oleh belenggu apapun. Oleh karena itu, semangat puisi seperti inilah yang mendapatkan momentum ketika kemerdekaan diproklamasikan bangsa ini.
Puisi harus kembali mencari jalannya sendiri untuk menuliskan kembali sejarah puisi. Puisi senja bukan sedang menceritakan keindahan puisi yang menua, karena sejarah puisi adalah kebebasan. Puisi selalu dilahirkan.
Comments