Di zaman globalisasi ini berita bisa membingungkan kalau kita tidak bijak menyikapinya. Tapi yang jelas mengapa kita seperti ketakutan jumlah orang islam menciut? Kwantitas itu tak menentukan kwalitas.
Kejadian persekusi kepada dua wanita pemandu karaoke di di salah satu kafe di Kecamatan Lengayang, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat oleh sejumlah pria membuktikan, bahwa kebenaran menjadi menjijikan manakala berani karena keroyokan. Bahkan jadi sadis seperti binatang. Apalagi menimpa wanita yang dalam keaadaan tidak berprofesi seperti itupun kerap mendapat perlakuan "dipaksakan".
Kedua berita itu dimunculkan oleh media berita online. Tentu masih butuh penelusuran. Kalau lah itu semua cuma sekedar berita sensasi agar traffick atau pengunjung media itu meningkat, tetap ada yang menggeliat dalam diri kita, dan membuat penilaian benar atau salah.
Bohong kalau kita tak pernah ada yang memberi tahu kebenaran dan kesalahan. Tuhan tidak pernah jauh dari kita. Dia tak pernah lalai atau tertidur dalam mengurus mahluknya. Dia telah lama memproklamirkan dirinya lebih dekat dari urat nadi kita.
Atheis itu baru muncul di abad 18. Selama itu pada kemana orang-orang yang tidak percaya pada keberadaan tuhan dan dewa dewi ini? Atau ateis ini baru menemukan kata yang tepat hingga harus tersesat dulu dalam keyakinan terhadap adanya tuhan.
Kalau cari sensasi jelas ga mungkin. Disana ada Ludwid Feuerbach dan Karl Marx. Dua tokoh dunia yang malang melintang dengan jurus-jurus lihay bagaimana meniadakan kepercayaan kepada tuhan.
Kata mereka, "adanya Allah merupakan sebuah fenomena kesadaran manusia saja. Allah ada hanya sebagai akibat proses kesadaran manusia. Dengan demikian, jika kesadaran manusia tidak ada maka Allah otomatis tidak ada"
Whadoh mas, mas coba bertanya ya, kalau perasaan itu asalnya dari mana? Lepas sejenak kebohongan agar bisa melihat dengan mata yang lain kedalam diri kita. Karena mata yang dua indah di kepala sangat terbatas kemampuan melihatnya.
Lepas pancaindra yang fana, ada indra lain yang bisa menyelusup jauh kedalam. Ada labirin teramat tipis benar dan salah dalam relung hati. Arena paling demokratis karena sidang paripurnanya milik kita. Lakukan voting kalau mau. Pilihannya niscaya hanya dua benar atau salah.
Tentu saja tidak mudah. Apalagi ketika kita jadi musafir yang terlunta-lunta. Di belantara kota masih ada google map. Di hutan masih ada tanda-tanda mata angin, kita bisa belajar dari para pencinta alam. Tapi manakala kita tersesat dalam belantara diri sendiri, kita nyaris tak menemukan cahaya.
Kita tak bisa membedakan benar dan salah. Karena nilai keduanya 12 dan 11. Atau bahkan hanya berbeda satu digit dibelakang koma dan nol nol. Mirip dan mengelabui.
Atheis itu baru muncul di abad 18. Selama itu pada kemana orang-orang yang tidak percaya pada keberadaan tuhan dan dewa dewi ini? Atau ateis ini baru menemukan kata yang tepat hingga harus tersesat dulu dalam keyakinan terhadap adanya tuhan.
Kalau cari sensasi jelas ga mungkin. Disana ada Ludwid Feuerbach dan Karl Marx. Dua tokoh dunia yang malang melintang dengan jurus-jurus lihay bagaimana meniadakan kepercayaan kepada tuhan.
Kata mereka, "adanya Allah merupakan sebuah fenomena kesadaran manusia saja. Allah ada hanya sebagai akibat proses kesadaran manusia. Dengan demikian, jika kesadaran manusia tidak ada maka Allah otomatis tidak ada"
Whadoh mas, mas coba bertanya ya, kalau perasaan itu asalnya dari mana? Lepas sejenak kebohongan agar bisa melihat dengan mata yang lain kedalam diri kita. Karena mata yang dua indah di kepala sangat terbatas kemampuan melihatnya.
Lepas pancaindra yang fana, ada indra lain yang bisa menyelusup jauh kedalam. Ada labirin teramat tipis benar dan salah dalam relung hati. Arena paling demokratis karena sidang paripurnanya milik kita. Lakukan voting kalau mau. Pilihannya niscaya hanya dua benar atau salah.
Tentu saja tidak mudah. Apalagi ketika kita jadi musafir yang terlunta-lunta. Di belantara kota masih ada google map. Di hutan masih ada tanda-tanda mata angin, kita bisa belajar dari para pencinta alam. Tapi manakala kita tersesat dalam belantara diri sendiri, kita nyaris tak menemukan cahaya.
Kita tak bisa membedakan benar dan salah. Karena nilai keduanya 12 dan 11. Atau bahkan hanya berbeda satu digit dibelakang koma dan nol nol. Mirip dan mengelabui.
Oleh karena itu, apapun penampakkan dan berita di luar sana tidak akan mungkin mengubur kebenaran. Karena kebenaran senantiasa terbersit dalam diri kita, kebenaran selalu menemukan caranya untuk tumbuh. Bukan berdasarkan jumlah teman kita atau karena benar kita menjadi sewenang-wenang.
Seperti Serigala
Tuhan,
bukankah kau yang mengajarkanku bilangan satu,
ternyata di atas bilangan sepuluh aku menjadi tak terduga
Melolong
seperti serigala
Menghujam
seperti belati
Mengembik
mirip kambing
Menggunting dalam lipatan
menjadi algojo saudara sendiri
Tuhan,
mengapa kau baru memberi tahu
bilangan itu hanya satu sampai sepuluh
Selebihnya aku harus memadamkan neraka
dan membakar surga