Skip to main content

Menantu Idaman dan Budaya Patriarki

menantu+idaman+dan+budaya+patriarki

Penulis: Dien Kasava

Semenjak nikah tahun 2021 lalu, hingga sekarang 2023, definisi "menantu idaman" yang bersemayam di pikiranku adalah, seorang wanita yang selalu bilang "iya" ketika disuruh apapun oleh mertua. Mari kusebutkan lebih spesifik; mencuci baju, cuci piring, menyapu, mengepel, membereskan rumah, menyetrika, hingga ke pasar, adalah kewajiban istri. Ditambah melayani suami (memasak hingga mengambilkan makanan itu ke depan wajah suami) adalah KEWAJIBAN. Dan ketika salah satu dari yang disebutkan itu tidak terlaksana, jatuhlah label "pemalas". 

Itu baru permulaan. Ketika ibu mertuamu sibuk di dapur, basa-basi bertanya "butuh bantuan?" juga termasuk kewajiban. Ikut memasak ketika beliau memasak. Ikut membantu ketika beliau mengurusi tanaman kesayangannya. Menawarkan titipan jika akan ke pasar atau minimarket terdekat. Tidak bisa menolak ketika disuruh membeli sesuatu untuk kebutuhan mertua. Setelah semua itu dilakukan pun, aku masih kerap mendapat kalimat-kalimat tidak enak. Seperti, "cewek jadi-jadian", "tidak tahu diri", "malas", "belajar dong!" hingga lama kelamaan aku merasa seperti babu. 

Kubilang seperti itu karena mertuaku tidak pernah berkata "tolong" ketika menyuruh sesuatu. Tidak pernah bilang "terima kasih" ketika sudah dibantu. Dan jangan berharap kata "maaf" ketika beliau melakukan kesalahan. 

Kemudian, setelah banyak kejadian yang tidak enak bagi hatiku sendiri, aku mulai menganalisis asal mula aku mematri definisi Menantu Idaman yang sedemikian rupa hingga aku merasa seperti babu. Aku mulai bertanya pada diri sendiri alasanku merasa tidak punya nilai ketika menghadapi ibu mertua. Karena, jujur saja, jika ingin berkompetisi mengenai pendidikan (terlepas dari usia dan pengalaman), aku lulusan Sarjana dan beliau SLTA. Tapi, toh, ini bukan tentang siapa yang paling tinggi menduduki kursi pendidikan. Ini tentang siapa yang terlihat paling rajin dan paling "manggut" ketika disuruh apapun. Dan itulah definisi Menantu Idaman. 

Aku teringat cerita mengenai istri dari sepupu suamiku (beserta kalimat-kalimat pedas yang bertujuan untuk membanding-bandingkan aku dengan dia). Kalimat, "sudah cantik, rajin pula" tidak akan hilang untuk wanita itu. Definisi menantu idaman yang ada di otakku terpatri karena cerita-cerita si Cantik dan Rajin itu. Betapa bagus dan mulusnya cerita beliau, tanpa cela. Rajin, sopan, pintar masak. Punya anak tiga, rumah tetap rapi dan bersih. Suami pun terurus bahagia. Belum lagi, selalu dibangga-banggakan dan dijadikan patokan oleh mertuaku. "Jadi istri tuh ya begitu!" 

Tapi, kemudian, yang dijadikan pertanyaan selanjutnya adalah, kenapa mertuaku memiliki patokan Menantu Idaman yang seperti itu? 

Setelah aku mendapat berbagai cerita dari suamiku mengenai ibunya dan keluarga besar mereka, aku jadi menyimpulkan bahwa mertuaku penganut budaya patriarki. Aku tidak menyalahkan beliau dalam hal ini. Karena, budaya patriarki yang ditelan mentah-mentah oleh para orangtua terbilang banyak dan jadi biasa. Jangankan mertuaku yang sudah berumur, ibu kandungku sendiri masih sedikit terpapar budaya itu. Seperti, ketika adik laki-lakiku mencuci piring, ibuku melarangnya dan bilang bahwa cuci piring adalah tugas anak perempuan. Aku spontan protes dan bilang bahwa semua pekerjaan rumah, ya tugas semua penghuni rumah. Tidak terbatas pada gender apapun. Aku bisa protes demikian karena beliau adalah ibuku sendiri. Lain cerita jika yang mengatakan itu adalah mertuaku, mungkin aku hanya bisa diam, lalu mengomel di belakang (lebih tepatnya, cerita ke suami). 

Lalu, cerita apa saja yang membuat aku jadi menyimpulkan bahwa mertuaku penganut budaya patriarki?

Ibu mertuaku sudah diincar oleh suaminya sejak lulus SMA. Kemudian mereka menikah ketika ibu mertua berusia 21 tahun. Di awal pernikahan, ibu mertua mengerjakan semua tugas rumah sendirian. Hingga ketika lahir anak pertama, dia memiliki asisten rumah tangga paling sedikit 3 orang (ditambah 2 supir). Meskipun memiliki karyawan, semua urusan rumah dia pantau sangat teliti. Suaminya hanya tahu sudah selesai atau ikut andil ketika urusan bayar-membayar. Jadi, kurang lebihnya, sifat rajinnya ini mirip-miriplah dengan si Cantik dan Rajin yang sering diceritakan itu. Ditambah juga, dari pengalamannya sendiri yang membuat dia jadi berekspektasi bahwa Menantu Idaman mesti seperti itu. 

Cerita lain yang menyangkut diriku, adalah ketika aku dan suami sudah sepakat tentang pembagian tugas domestik. Suami mencuci, aku menjemur, menyetrika, dan memasukkan baju-baju itu ke lemari. Aku membereskan kamar dan menyapu, suami mengepel. Masalah dimulai ketika aku dengan bangga bilang bahwa yang mencuci baju adalah suamiku. Kakak Ipar (yang padahal punya posisi yang sama juga denganku; menantu), mengadukan itu ke mertua hingga mereka berkomplot untuk "menasehatiku" bahwa "jangan suami yang cuci baju, pamali". Mendengar itu kupingku rasanya geraaaahh sekali. Ditambah lagi, kalimat itu dilontarkan ketika aku baru saja pulang kerja dan sedang capek-capeknya. Ingin aku berkata kasar. 

Setelah tragedi "pamali" itu akhirnya suamiku memutuskan, biar aku saja yang mencuci dan dia yang menjemur. Ini juga yang selanjutnya menjadi perdebatan diantara suami dan aku. Kesal sekali ketika suami lebih mendengarkan orang lain ketimbang istrinya sendiri. Padahal kan, yang menjalani rumah tangga hanya dia dan aku. Orang lain ya orang luar. Jika hanya bisa mencibir, untuk apa didengar? Tapi, toh, aku tetap nurut suami. Hingga di lain kesempatan, suami mengobrol dengan ibunya, hanya berdua, dan menceritakan pembagian tugas yang pernah kami sepakati jauh sebelum menikah. Di awal pembicaraan, ibu mertuaku terdengar kurang setuju (aku mendengarnya setelah mereka selesai mengobrol, suami menceritakan itu padaku), sampai-sampai suami berkata pada ibunya, "kalo semua tugas dikerjakan istriku, ya aku cari pembantu, bukan istri." Setelah pembicaraan itu, barulah kami berdua kembali ke kesepakatan awal lagi. 

Cerita-cerita seperti itu yang akhirnya membuat aku menyimpulkan sendiri bahwa mertuaku penganut budaya patriarki. Meskipun, terlepas dari budaya itu, aku tetap salut pada ibu mertua. Ia bisa sebegitu telitinya mengurus rumah. Sangat rapi. 

Jadi, di sisi lain pun, aku tidak bisa menyalahkan beliau ketika dia berekspektasi mendapat menantu yang kurang lebih memiliki sifat dan sikap yang sama dengan beliau. Karena kemungkinan lainnya adalah, jauh di dalam hatinya, dia justru berharap sekaligus berdoa bahwa anaknya memiliki istri se-kompeten itu dalam mengurus rumah tangga. Pada akhirnya, menantu idaman yang melakukan semua pekerjaan rumah sendirian dan "manut", diartikan sebagai bentuk rasa sayang istri terhadap suami. 

Di luar ke-tidak-setuju-an ku terhadap gagasan itu, aku dan suami punya cara tersendiri untuk menunjukkan rasa sayang. Salah satunya, tidak perlu memenuhi ekspektasi orang lain ketika kami berdua malah merasa dituntut paksa. Karena bagi kami, apapun yang dilakukan dengan senang hati, justru itu yang bisa dibilang bentuk kasih sayang. 

Apakah aku tetap melayani suami? Menyambut ketika dia pulang kerja, menyiapkan makanannya, hingga mengambilkan baju tidurnya? Ya. Dan kulakukan dengan senang hati, bukan karena tuntutan mertua atau suami. 

Apakah kulakukan rutin setiap hari? Tidak. Adakalanya kami bertengkar dan saling diam. Adakalanya kami baik-baik saja namun aku sedang tidak ingin melakukan itu. Dan adakalanya suami yang melakukan itu untukku. 

Pada akhirnya, jika aku kembali sebal saat mendengar tuntutan mertua mengenai Menantu Idaman, otakku akan dengan refleks bertanya pada diri sendiri. Kamu melakukan ini dengan senang atau karena ingin mendapat label Menantu Idaman? Jika hanya ingin mendapat label, lebih baik tidak perlu dilakukan. Selain menghindar dari hal yang membuat stress, hatiku juga tidak perlu merasa sesak. 

Terlebih lagi, ketika aku sekarang sadar, kepuasan mertua mengenai gagasan menantu idaman miliknya, tidak akan pernah tercapai selama hati dan pikiran beliau tidak mau menerima. Itu menjadi urusannya. Dan aku tidak berhak menuntut beliau agar menerima aku apa adanya, ketika aku sendiri juga tidak bisa menerima beliau beserta pemikirannya yang masih terpapar budaya patriarki.

Comments

Popular posts from this blog

Arti Mimpi

Kalau kita membicarakan arti mimpi maka pasti hubungannya dengan ramalan apa yang akan terjadi bila kita sudah bermimpi. Misalnya kalau kita bermimpi dapat ikan, biasanya diartikan kita bakal dapat rizki atau keberuntungan.  Arti mimpi seperti ini kemudian kita sebut sebagai makna mimpi. Seperti keren tetapi pada kenyataannya  setelah bermimipi dapat ikan,  lebih sering tidak terjadi apa-apa dengan keberuntungan kita . Mengapa arti mimpi yang cenderung tahayul itu kita sebut makna? Ketika agama meyakinkan kita bahwa tuhan sengaja menggulirkan malam untuk beristirahat setelah siang beraktifitas. Maka tentunya ada aktifitas lain ketika kita tertidur, setelah begitu giat semua organ tubuh kita bekerja. Karena tertidur berbeda dengan mati, buktinya kita bisa bermimpi dan ketika bangun masih mengingatnya walau kadang tidak lengkap.  Dalam kondisi tertidur sel-sel tubuh kita tidak mungkin diam, karena harus mendukung kenikmatan tidur sang tuan. Selain itu karena sebagian besar otot-otot ki

Keyword Facebook Pro dan Tiktok Afiliate

Semua platform sepertinya tidak jauh berbeda. Urusan cari uang di medsos tentu jadi mendadak seleb, kebanyakan pikiran kotor, ingin cari uang secara gampang. Jadi mirip korupsi juga, lumayan makan energi, denyut jantung sudah dipastikan berada di atas rata-rata. Mabuk harta memang nadanya jedak jeduk, mengimbangi pusing pala berbi. Tapi itu awalnya saja, setelah itu jantung tenang. Karena mulai terbiasa. Jantung mulai beradaptasi dengan nutrisi tidak sehat, tidak meronta lagi. Mungkin jadi imun dari perasaan dosa. Penumpukan racun seperti itu sama saja dengan membuat cerita tua kita seru dengan penyakit jantung. Akibat sudah sering memaksa jantung bekerja dalam suasana was-was. Jadi kalau mau aktif di medsos seperti orang korupsi seperti itu sah sah saja. Ingin limpahan uang secara gampang tidak ada yg melarang. Toh di dunia yang penuh hak azasi ini segala hal bisa jadi komoditi.    Muter dulu Sempat bertanya ga, mengapa semakin orang ngerti dan mampu membeli makanan empat sehat lima s

Debat Capres Seperti Film Musikal

Debat capres memang keren, karena negara maju juga sudah lama melakukannya. Apakah diadakannnya debat capres memperlihatkan bahwa sebuah negara sudah maju? Tentu tidak, ya. Apalagi kalau sekedar mau ikut-ikutan, biar kita kelihatan tak ketinggalan kereta.  Yang ketinggalan kereta itu pacar, dalam film  "Pacar Ketinggalan Kereta" garapan sutradara Teguh Karya. Film Sebuah Pesta Film Pacar Ketinggalan Kereta sebenarnya bertema  soal cemburu yang menjalar kesana kemari lalu jadi masalah yang komplek. Tapi karena film yang diproduksi tahun 1989 ini film musikal, maka persoalan yang komplek itu jadi  happy ending. Permasalahan dalam film ini juga diawali dari pesta ulang tahun pernikahan seorang pengusaha kaya yang ke 25. Film musikal tentu menuntut setiap pemerannya tidak sekedar bisa akting tapi juga bisa menari dan menyanyi, agar film ini tetap gembira dan mengundang senyum. Sehingga persoalan cemburu yang kerap terdengar bisa mengundang kekerasan menjadi pudar. Penonton sepert