Apa yang paling universal di dunia ini selain cinta? Dalam film Fifty First Date (2004) cinta yang tulus sanggup menghadirkan mimpi yang sama pada seorang wanita yang mempunyai penyakit kehilangan memori jangka pendek. Sehingga walaupun setiap dia bangun tidur tidak ingat apapun, dari mimpinya itu dia tahu ada seorang lelaki setia yang menemaninya.
Mungkin cinta lebih dari sekedar sebuah memori, tapi jauh lebih kuat. Sesuatu yang tertanam sejak kita bergerak di dalam rahim dan ditanamkan oleh kekuatan yang maha kokoh.
Kata ulama Tafsir Indonesia, Prof Muhammad Quraish Shihab, manusia diciptakan Allah dengan meniupkan benih-benih cinta sebelum menjadi wujud utuhnya.
Walaupun kita masih terkulai dengan cinta yang dibatasi dengan tubuh indah dan seksi. Tidak masalah. Sesuatu yang ditanam memang tak bisa tumbuh sempurna dalam sekejap. Proses itu adalah keniscayaan dalam segala hal.
Karena kita ini sudah ditegaskan sebagai musafir sekaligus khalifah. Pemimpin sebuah arak-arakan besar karavan menuju tanah impian. Maka sega hal juga sedang dalam perjalanan menuju sempurna.
Diam atau progresif tetap dalam lingkaran musafir. Bisa saja kita menjadi musafir yang banyak bertanya dalam perjalanan, lalu ketika mendapat jawaban jadi lupa tujuan. Toh, tetap saja karavan itu sedang diperjalanan.
Bukankah untuk menjadi sutradara akan lebih intens kalau kita handal dulu menjadi aktor? Atau bahkan jadi pembantu umum dalam pembuatan film. Perjalanan selambat apapun selalu saja membuat perubahan.
Bahkan sejatinya perjalanan ini merupakan perjalanan spiritual. Imam Al-Ghazali mengungkapkan bahwa keraguan adalah tingkat pertama dari keyakinan. Keraguan membuktikan seseorang sedang berada di satu level di atas diam.
Kalau ada yang mencintai sesuatu sampai membuat mabuk kepayang, konotasi apa yang bisa disematkan padanya selain dia sedang melakukan penyembahan? Bertahun tahun atau mungkin saja ratusan tahun Ibrahim menyembah bintang, bulan lalu matahari. Tapi ternyata semua itu masih suka tenggelam.
Dia akhirnya menemukan dzat yang kekal dan tidak tenggelam. Kecintaan pada dzat yang maha kekalpun harus teruji dengan kehadiran anak yang sudah lama dia inginkan. Maka keputusannya, dia harus mengurbankan cinta yang lain demi cinta yang sejati.
Perjalanan seperti itu tidak mudah. Dan dipastikan tidak lurus-lurus saja. Pemahaman akan keyakinan yang benar akan diwarnai oleh kekeliruan penalaran. Bahkan membuat seorang musafir terlunta-lunta tanpa tujuan. Tidak jarang frustasi atau menganggap sebuah tempat yang dia singgahi adalah akhir dari perjalananya.
Lalu dia merasa mapan dan tak sadar kalau zona nyamanya itu bukan rumahnya. Di tempat seperti inilah biasanya orang disihir keyakinan yang utopis. Merasa paling benar dan sudah berhasil. Peresis seperti moyangnya Adam yang sukses membangun surga aden. Buah ilmu pengetahuan dengan istilah khuldi yang ia tumbuhkan sendiri membuatnya merasa berhak dia nikmati.
Tapi pelanggaran hak itulah yang membuat adam sadar bahwa dirinya masih sebagai musafir. Oleh karena itu dia tetap harus pulang. Penyesalan harus dibayar dengan perjalanan panjang agar nikmatnya buah khuldi bersama hawa menjadi haknya. Kesalahan seorang yang berilmupengetahuan menuai khikmah, adam mempunyai keturunan yang sanggup membangun peradaban di bumi ini.
Kebenaran ternyata tidak dibangun melulu oleh kebenaran, tapi dipicu oleh kesalahan. Kebenaran memiliki nilai, karena kesalahan juga punya nilai yang sama. Kebenaran terkalkulasi menjadi keadilan dan keseimbangan.
Jadi perjalanan akan tidak menarik, kalau pemahaman cinta diawal perjalanan tidak kita tinggalkan.
Tak ada yang final dari seorang musafir.
Cinta Adalah
Tuhan yang menyemaikan cinta
dan air hujan mengalirkannya
Tuhan yang telah menyemaikan cinta
dan pohon cemara menjajatuhkannya sebagai embun di pagi hari
Tuhan yang menyemaikan cinta
dan tanah menumbuhkan semua biji menjadi pohon
Tuhan yang menyemaikan cinta
dan kerajaan cinta itu harus kita pelihara
Comments