Reformasi yang terjadi tanggal 21 Mei 1998 sudah lama berlalu. Dulu ketika gejolak perubahan itu mulai terasa, ada gairah dan perasaan gembira. Walaupun tidak ikut dalam gelombang demonstrasi yang dimotori mahasiswa, tapi terus mengikuti perkembangan berita dan berharap perubahan terjadi.
Mengenang reformasi 1998
Entah tanggal berapa waktu itu. Anak yang kedua masih dalam gendongan dan anak pertama jalannya masih tertatih-tatih. Kami sekeluarga pulang dari kebun binatang Bandung melewati jalan ganesa, untuk mendapatkan angkot di simpang dago.
Diluar dugaan ternyata di jalan itu sudah berbaris ratusan mahasiswa ITB dan mahasiswa lain dengan mobil komando di depannya. Seorang mahasiswa di atas mobil komando memberikan aba-aba dan berteriak "reformasi", teman-temannya yang berbaris dibawahnya segera menyambut dengan teriakan yang sama dan kepalan tangan.
Sambil menggendong si sulung abah memperhatikan mereka dengan bangga. Si sulung sempat bertanya, ada apa. Abah menceritakan secara singkat, lalu berpesan, kalau kelak nanti kuliah, jangan takut ikut demonstrasi untuk memperjuangkan kepentingan rakyat seperti mereka.
Si sulung sepertinya belum begitu mengerti, ketika kami tiba-tiba ikut dimasukkan kedalam barisan oleh beberapa mahasiswa yang merentangkan tali plastik pembatas antara mahasiswa yang berdemo dan masyarakat yang menonton. Seorang mahasiswi segera menyadarinya dan memperingati kawan-kawanya yang merentangkan tali. Kami dikeluarkan dari barisan mahasiswa dan tertawa bersama.
Sungguh pengalaman yang tak terlupakan. Suara yang bergema kompak dan terus diulang itu sampai saat ini juga masih diingat dan tetap terasa merinding. Wajah-wajah cerdas yang serius dengan jaket mahasiswa dan kantong gendong masih lekat dalam ingatan.
Saat itu pemandangan demonstrasi menjadi jamak di media berita. Saling dorong mahasiswa dan aparat, Mahasiswa yang menolong kawannya, aparat yang terkapar, pembakaran-pembakaran dan lain sebagainya. Yang jelas keinginan adanya perubahan di negeri ini benar-benar dipercayakan kepada mahasiswa.
Tuntutan reformasi waktu itu dikenal dengan sebutan agenda reformasi 1998. Agenda itu adalah :
- Adili Soeharto dan pengikutnya.- Amandemen UUD 1945- Otonomi daerah seluas-luas- Hapus dwi pungsi ABRI- Hapus korupsi. kolusi dan nepotisme- Tegakkan supremasi hukum
Presiden Soeharto akhirnya lengser digantikan BJ Habibie. Empat mahasiswa: Hafidin Royan, Heri Hartanto, Elang Mulia Lemana, dan Hendriawan Sie gugur sebagai pahlawan reformasi. Mereka gugur pada tanggal 12 Mei 1998, ketika melakukan demonstrasi damai.
Reformasi Mei 1998 itu memang tidak seindah seperti kita mengenangnya sekarang. Gerakan reformasi 1998 itu sunguh berdarah-darah. Tidak mudah merubah birokrasi Indonesia yang sudah dikangkangi rezim refresif selama 32 tahun.
Reformasi dan penulis puisi
Saat itu korupsi, kolusi dan nepotisme sudah seperti mendarah daging. Masyarakat sudah kehilangan harapan menjadi lebih baik di masa datang. Pemerintah bukan pelayan rakyat tapi penguasa rakyat. Kebebasan yang merupakan salah satu kriteria negara demokrasi hampir lenyap ditekan kepentingan asal bapak senang.
Masyarakat yang sudah kehilangan harapan berpuluh tahun itu selalu gamblang, mudah terprovokasi, eporia, dan bisa cepat merubah keadaan. Namun sangat lengah. Oleh sebab itu, sudah 25 tahun reformasi berlalu, agenda reformasi jelas belum terlaksana semuanya.
Kebebasan yang tiba-tiba terbuka seperti mengagetkan. Seperti memberi makan orang yang sedang kelaparan. Mereka tak sempat merenung, bernafsu dan gampang emosian untuk siap saling cakar. Sementara ada yang sudah cukup kenyang untuk berpikir bagaimana merantai mereka dan berkuasa kembali. Masyarakat banyak yang eporia bisa lengah saat merasa menang, sementara segelintir lainnya sedang tiarap dan punya rencana besar. Revolusi mental tepat sebagai solusi.
Nafsu sudah terbukti sebagai sang perusak, meski beralasan kebebasan sekalipun. Bahkan bisa mengatasnamakan tuhan. Sementara merenung begitu lamban bahkan dituding sang penakut. Padahal itulah kelebihan binatang berkaki dua yang dipercaya sebagai khalifah oleh Gusti Alloh. Perenungan paling tidak sudah melewati riset kegalauan antara ya dan tidak.
Bagi seorang penulis puisi kenangan dan kebenaran menjadi obsesi yang bergejolak. Dia bisa dituding berpihak pada satu kelompok yang dianggap salah atau tidak umum. Padahal dia sedang memperhatikan detil kehidupan dan menyelaminya. Dia bisa mengorbitkan perasaan yang mungkin dianggap remeh temeh. Lalu dia dianggap sebagai pembangkang.
Mungkin ini yang dialami Chairil Anwar dan teman seangkatannya. Mereka kadung dalam penggunaan bahasa yang halus sebagai penyair , tapi gemas untuk menegaskan posisi kenyataan.
Mereka harus tetap menuliskannya.
Belantara Tak Terkira
Riuh rendah yang bersuara
sama itu menjadi belantara tak terkira
Pemangsa dan yang dimangsa sama-sama meneriakkan reformasi
Lalu semak belukar perubahan menjadi dingding mengerikan
Disitu pemangsa mengintip,
bersalin rupa
berbulu ayam
berdasi
bersurban
bergincu
macho
Sibuk mengajarkan nyanyian,
bagimu negeri , jiwa raga kami
Iblis ini memperkosa demokrasi
Bahkan tak segan memperjual belikannya
Comments