Yang ketinggalan kereta itu pacar, dalam film "Pacar Ketinggalan Kereta" garapan sutradara Teguh Karya.
Film Sebuah Pesta
Film Pacar Ketinggalan Kereta sebenarnya bertema soal cemburu yang menjalar kesana kemari lalu jadi masalah yang komplek. Tapi karena film yang diproduksi tahun 1989 ini film musikal, maka persoalan yang komplek itu jadi happy ending.
Permasalahan dalam film ini juga diawali dari pesta ulang tahun pernikahan seorang pengusaha kaya yang ke 25. Film musikal tentu menuntut setiap pemerannya tidak sekedar bisa akting tapi juga bisa menari dan menyanyi, agar film ini tetap gembira dan mengundang senyum. Sehingga persoalan cemburu yang kerap terdengar bisa mengundang kekerasan menjadi pudar. Penonton seperti diberi penjelasan, ini cuma sekedar film.
Film itu sendiri bukan budaya Indonesia. Film pertama di dunia dengan judul "Workers Leaving the Lumière's Factory" diputar di Boulevard des Capucines, Paris, Prancis pada tanggal 28 Desember 1895. Kemudian yang paling gila film adalah Amerika dengan Hollywood nya. Maka Eropa dan Amerika layak menyebut kalau film adalah budaya mereka. Tapi sepertinya mereka lebih suka menyebut film sebagai budaya modern.
Klaim budaya film adalah budaya barat, Eropa dan Amerika, tak menguntungkan pasar global, lebih baik dieksport dilkasih label budaya modern. Jadi klop dengan sebutan negara maju. Setuju atau tidak, bila sudah ada sebutan negara maju maka negara yang merasa belum maju akan segera menyamakan kedudukannya dengan negara maju. "Tuturut munding", kata urang sunda mah. Ikut trend aja dulu, casing dulu mesin dalam acak adut juga ga masalah.
Kabarnya perilaku ikut-ikutan itu kelakuan bangsa arab ketika masih jahiliyah. Negara adidaya saat itu Persia dan Romawi sangat berpengaruh pada tabiat dan budaya orang arab. Maka ketika cahaya Islam muncul di tanah tandus ini, bukan sekedar merubah agama, tapi cahaya itu membangun kepercayaan diri bangsa arab.
Debat Capres Bukan Budaya Indonesia
Repot juga harus meniru-niru negara maju, apalagi kalau harus mengeluarkan biaya tambahan hanya sekedar untuk sebuah pesta. Tapi apa daya ini pesta demokrasi. Nanti saja di akhir debat capres, jangan lupa menggosok gigi untuk menyampaikan kata akhir "SEKIAN. Debat capres ini pesertanya buatan dalam negeri".
Indonesia tercinta yang sekarang sedang sibuk menyiapkan pemilu ini, sudah tak bisa digugat berketuhanan yang maha esa. Tertera jelas pada dasar negara Pancasila yang diyakini sebagai hasil galian asli dari budaya Indonesia. Pancasila sudah menjadi ideologi bangsa Indonesia. Negara maju tak mau menggali di daerah itu.
Mereka tergopoh gopoh ikut nimbrung kalau urusannnya menggali tanah. Mereka hapal harga emas, nikel, bauksit, timah, aspal dan lain sebagainya. Sedang kita sudah lama tidak menghapal, cukup bangga saja kalau negeri ini laksana zamrud Khatulistiwa.
Kita sepertinya salah gali makanya dibiarkan menggali di tempat lain. Walaupun hasilnnya Demokrasi Pancasila, namun suaranya terdengar lirih tak menarik hati negara maju.
Mereka pikir kalau masih ada sebutan demokrasi tidak usah dikhawatirkan, walaupun bangsa Indonesia menggalinya sampai ke dasar bumi. Toh demokrasi sudah lama diketemukan di Yunani sekian puluh abad yang lalu. Eropa dan Amerika sudah lama bangga dengan penemuan itu. Demokrasi sudah menjadi komoditi non migas.
Buktinya negara Pancasila sekarang sedang meniru negara maju, ramai menggelar debat capres menjelang pemilu. Tidak ada yang sadar kalau demokrasi pancasila sudah tidak terdengar lagi, terkubur tanah galian negara maju yang bernama demokrasi liberal.
Lalu mengharap cahaya darimana lagi, agar bangsa besar ini percaya diri? Tidak rame atuh, brow, setiap bangsa harus berseragam liberal mah. Apa namanya kalau budaya yang kita pakai bukan kpribadian kita? Tanah dan air sudah lepas dari penjajahan. Nikel sudah mulai melepaskan diri. Kenapa pula kita rela membiarkan kepribadian kita dijajah?
Ketuhanan Yang Maha Esa Tak Bisa dikubur
Jadi ingat jawaban Bapak Presiden Jokowi ketika ditanya soal kebebasan berbicara yang masih kurang, oleh bang Karni, dalam acara Wawancara Khusus Presiden Jokowi Bersama Karni Ilyas: Demokrasi Indonesia, di tvone satu tahun yang lalu.
"Ah, kebebasan apa yang masih kurang? Orang memaki-maki presiden, orang menghina presiden, orang mengejek presiden, orang mencemooh presiden juga tiap hari kita dengar, orang mendungu-dungukan presiden kita dengar dan kita lihat. Biasa aja, mau seperti apa lagi yang kita inginkan? Demokrasi yang sangat liberal menurut saya. Meskipun kita ini orang timur yang penuh dengan kesantunan, yang penuh dengan etika dan tatakrama yang baik. Tapi sekarang ini kita sudah, menurut saya, sudah liberal sekali".
Tentu kalau debat capres diisi dengan mengungkapkan gagasan, walau saling bertanya seperti menohok dengan senyum yang dipaksakan, tetap masih ada etika dan tatakrama. Meski kelihatan formalitas, masih mending tidak saling mencemooh, mengejek dan mendungu-dungukan yang lainnya. Mereka tiga putera terbaik bangsa bukan gerombolan orang yang suka mencemooh, mengejek dan mendungu-dungukan orang lain.
Karena walaupun misalnya ketiga capres mengeluarkan kata-kata menghina atau merendahkan satu sama lainnya seperti setan, tidak akan bisa mengubur tuhan yang ada di setiap diri mereka masing-masing. Biarpun Dia sekedar tersirat dalam senyum yang formalitas di wajah mereka.
Ketuhanan yang maha esa nyata dalam setiap diri.
Dan dia selalu gembira.
Semoga.
Comments