Tabiat itu sifat yang sudah mendarah daging, udah merogoh jiwa. Alami, kata dewa google mah. Sok aja cek, masa dewa salah?
Jadi kalau 3,5 abad sebuah negara ga nyadar sedang merampok, apa masih yakin di zaman milenial dan gen z ini mereka tidak sedang berperan seperti itu? Kapan tobatnya?
Urusan duit tobatnya saat diancam alias ditagih hutang. Atau diancam ga dikasih pinjaman lagi. Jadi urusan merdeka kita ga melulu heroiknya pahlawan kita berani melawan penjajah dengan bambu runcing. Tapi pinternya para negosiator kita berunding.
Bung Karno cs tahu voc modalnya darimana. Papan catur segera harus digelar. Bidak-bidak catur harus digerakkan dengan seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Itulah gunanya sekolah tinggi macam Bung Karno, Bung Hatta, Bung Syahrir. Jangan bandingkan gelar Ir, Drs nya mereka dengan gelar di jaman sekarang yang sering ribut soal joki sipenmaru dan ijazah palsu. Jaman doeloe tak secanggih sekarang cuy.
Tapi wawasannya boleh ngadu. Kalau para pendiri negara kita ga brilian macem itu, kemerdekaan kita cuma dihadiahkan. Coba bayangkan, kemerdekaan diperjuangkan aja kita masih seperti sekarang, apalagi diberikan sebagai hadiah.
Jadi kalau kita masih mendayu-dayu air mata di jaman kemerdekaan ini, ya wajar, ketika muncul facebook malah yang ramai perselingkuhan dan perceraian. Paling banter kompak berbuat ria Atau sibuk mengumbar amarah.
Dulu dikeruk sumberdaya alamnya, sekarang lebih repot. Dikerok sumberdaya manusianya. Medsos ketimbang dipakai usaha, malah dipakai syahwat.
Pemilik medsos mah asik-asik saja.
Padahal pada tahu darimana pemilik medsos bisa kaya. Dari pesta pora kita mengobral perasaan dan kesombongan. Bahkan ketika fb mulai merilis mode pro sudah bertiwikrama menjual kebohongan dan kekerasan.
Begitulah kapitalis. Yang penting orang berjibum nongkrong disitu. Mau maksiat monggo, berkenan menebar kebaikan ga dilarang. Yang penting bisa pasang iklan, produksi terus berjalan.
Kita yang sering ribut seolah paling menguasai ilmu mistis, heboh seolah jago santet, nyegik, pesugihan dll, nyatanya tak berkutik. Sihir dolar lebih kuat dari sekedar omong kosong itu.
Kalau voc yang licik itu memburu materi, kira-kira apa yang akan dilemparkannya sebagai umpan? Jelas dong kita disuruh percaya pada hal-hal yang non materi. Biar kita lupa kalau beli beras juga pake uang bukan pake mantera.
Disitulah kita berada. Ketika pekik merdeka sudah jadi monumen dan patung-patung perjuangan. Maka seiring menjelang satu abad usia kemerdekaan, kita juga jadi pikun soal arti kemerdekaan, linglung menentukan arah.
Kan keder kalau harus teriak merdeka dalam kondisi perut ga pernah kenyang. Ga pernah merasa cukup. Di sisi ini kita sudah mirip voc. 3,5 abad menjajah boro-boro berniat ngasih ganti rugi malah tambah pintar merubah strategi. Tabiat susah dirubah.
Lha, voc itu perusahaan, makanya kita ga pernah tuh dendam apalagi nuntut. Karena diam-diam mulai mirip mereka, setelah 350 tahun bersama. Namun kita berada dirantai makanan paling bawah.
Entah siapa yang mulai meniupkan mantera kalau yang disebut negara maju itu Eropa. Sihir gelap untuk menutupi kata "penjajah" menjadi kalimat panjang "Kemerdekaan adalah hak segala bangsa".
Ketika melek kalau pemanasan global akibat industri yang jorjoran, maka segera dihembuskan mantera baru "Back to Nature". Lalu yang linglung baru bangun, kembali tersihir dengan istilah ramah lingkungan. Masih mending ga tidur lagi di atas sofa empuk bertahtakan jamrud khatulistiwa.
Udah dari dulu, coy, nenek moyang kita kalau sakit nyari obatnya dari tumbuhan di hutan atau di kebun sekitar rumah. Malah kadang di pinggir selokan. Mengapa baru sekarang kita ikut latah soal ramah lingkungan?
Apa ga eungeuh mengapa rumah adat kita bentuknya beda-beda? Biar jelas dari suku mana gitu ? Whadoh, nenek moyangku bukan hanya seorang pelaut, tapi hapal betul prilaku alam di daerahnya. Mereka ga perlu membawa tanahnya untuk cek laboratorium. Dijilat aja mereka hapal harus nanam apa di tanah mereka.
Terus sebelnya diskriminatif lagi dengan istilah "kebijakan lokal". Apa musti pakai bahasa latin biar teknologi pengobatan dan teknologi bercocok tanam nenek moyang kita naek level jadi kebijakan global.
Tabiatnya kaum imperialis bikin negara jajahan tidak mandiri, tidak punya istilah sendiri. Biar tetap galau ga pede, makhluk limbung seperti ini gampang dirasuki sampai kesurupan.
Minta hidung jadi mancung, minta punya mata biru, minta rambut pirang. Oplas dah ke luar negeri. Cuan seperti ini bisa lintas gender segala. Kesurupan mening minta kopi ma cerutu. Kopi dan tembakau seabreg di negeri ini.
Jadi begitulah saudara-saudara enaknya kalau kita sudah merasa kalah start. Serba latah karena tepat di bokong orang. Tinggal ngikut aja. Kan yang bangkrut sekedar mental.
Makanya meski netizen +62 garangnya minta ampun, yang punya medsos senyum-senyum, egp pikirnya. Sing penting pada online 24 jam, hingga yang punya medsos sambil ngorok juga bisa tetap mendulang pulus.
Menurut Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), pengguna internet di Indonesia pada tahun 2024 sampai 79,5%. Edun pan, dari penduduk Indonesia yang sekitar 280 juta? Apa ga ngiler tuh para cukong?
Pengusaha internet bisa mendadak stroke kalau orang Indonesia mogok online. Lalu bikin google sendiri. Walaupun kemungkinannya tipis kalau sampai seheroik itu dalam kondisi linglung.
Jelaskan kalau mau memburu dolar di medsos harus belajar dari voc biar FYP.
Comments