Puisi perjuangan lebih romantis bila dibaca dan didengar saat perjuangan sudah selesai. Seperti nonton film dokumenter perang kemerdekaan. Gairah yang berasa tersungkur dalam pelukan sang penyair yang baru saja putus cinta.
Barangkali curhat mengenang masa jaya puisi perjuangan ketika kemerdekaan tahun 45 menjadi tonggak sejarah bagaimana seorang chairil Anwar melakukan revolusi puisi dari sisi bentuk dan isi.
Puisi Karawang bekasi karya Chairil Anwar masih bisa garang dibacakan generasi reformasi. Entah dengan generasi milenial dan gen-Z. Dua generasi ini mulai jauh dari pedihnya mempertahankan kemerdekaan, sehingga kalau terseok-seok dalam puisi cinta dan cemburu masih punya katagori sebagai puisi romansa.
Biar saja dulu balik lagi ke masa angkatan pujangga baru. Romantik, tapi tetap individualismenya mirip angkatan 45.
Puisi Lisan Mengawali Puisi Perjuangan
Puisi punya saudara asli dari Indonesia yang bernama pantun, namun suka jenaka. Kemudian jadi trend karena para petinggi meramaikannya sambil cengengesan. Sedangkan saudara lamanya syair dan mantra lebih konotatif dengan ungkapan suci hasil perenungan maha marifat, sehingga dibungkus dalam kitab suci seperti yang diungkap dalam tulisan "Puisi Adalah Sejarah Kebebasan".
Tidak ada yang bisa menuntut kalau karya puisi jadi sesengukan penuh penderitaan. Unesco telah mengabarkan soal minat baca orang Indonesia yang menyedihkan. unesco tidak tahu kalau orang Indonesia juga getol melototi gadget selama 9 jam sehari. Jadi wajar kalau Indonesia punya pelajar yang disinyalir tak puya minat sastra. Menonton lebih menggairahkan karena membaca khusus untuk pengantar tidur.
Tapi pengantar tidur generasi Indonesia yang bakal menguasai pemilih di pemilu 2024 ini ternyata gadget juga, sampai lcd gadget itu retak tertindih badannya. Lalu merengek untuk segera diperbaiki. mereka tak bisa kehilangan kawan karibnya itu barang seharipun.
Puisi tidak punya mantra sehebat gadget, mantra sudah dinobatkan menjadi puisi lama dalam buku pelajaran. Dan tuahnya sudah lama lapuk dimakan usia.
Puisi sebagai bagian dari pendidikan sastra di Indonesia, meski sudah mendapat lapangan luas dengan adanya kurikulum merdeka, masih tetap seperti berada di kandang yang sumpek. Siswa sekolah masih menganggap puisi itu pelajaran yang sulit. Padahal gagasan sebagai modal untuk menulis puisi sudah lama merdeka sebelum kurikulum merdeka digulirkan. Bahkan pada bagian keterampilan untuk mengekspresikannya juga.
Siapa yang berani melarang orang berekspresi di jaman reformasi ini?
Marius Hulpe yang sastrawan Jerman itu menggambarkan kurikulum sastra di Jerman malah lebih mengikat lagi dan para mentornya kurang berani. Dia bilang Indonesia punya modal puisi lisan.
Mungkin maksudnya seperti pantun, yang sudah ditetapkan PBB sebagai warisan budaya dunia. Atau Manue Pucok yang berkembang di Aceh di bagian barat, selatan dan barat daya. Selain tentunya yang sudah dikenal di buku pelajaran seperti gurindam dan mantra.
Puisi lisan, kata Marius Hulpe, punya dampak positif untuk diterima di masyarakat luas. Yang penting diperdengarkan, diceritakan, dibicarakan.
Lomba Puisi
Marius tidak menyebut lomba puisi, mungkin di Jerman tidak ada lomba balap karung seperti di Indonesia saat meramaikan HUT kemerdekaan. Lomba balap karung ini jurinya tidak perlu seorang ahli merajut karung atau bekas atlet balap karung. Cukup lihat saja siapa yang paling duluan nongol di garis finis untuk disebut juara balap karung.
Lomba puisi memang tidak sesederhana itu dan sempat ramai, baik even umum maupun di sekolah. Barangkali keramaiannya lebih penting ketimbang efek yang ditimbulkannya. Seringkali para pesohor sastra mengomentarinya dengan bangga nan optimis seolah-olah ada kebangkitan kesadaran berpuisi.
Memang betul ada kebanggaan bagi segelintir sang juara, sementara banyak peserta yang kalah tersentak kesadarannya, bahwa dia bukan apa-apa dalam dunia puisi.
Ketika pelajaran puisi dianggap sulit oleh orang muda sekelas pelajar, maka kita sadar puisi sedang eksklusif tidak punya semangat egaliter. Lalu kita mengerucutkan nya dengan perhelatan yang sama. Kemegahan di arena elite itu tak merubah apa-apa kecuali kita sedang menguburkan kreativitas puisi di tengah hingar bingar kebanggaan.
Kreativitas puisi menjadi senyap, berada di bilik juara lomba puisi.
Begitupun ketika puisi berada di tengah perbincangan sastra yang menggairahkan bersama para pesohor. Apalagi bisa menghadirkan sastrawan dari luar negeri yang karangan buku puisinya bestseller. Kita dibingungkan dengan kebanggaan antara gengsi dan harga diri.
Lahirnya Puisi Perjuangan
Ketika perang kemerdekaan menjadi ruh lahirnya puisi perjuangan, puisi menjadi gegap gempita dengan gagasan dan ekspresi yang sama. Walaupun sepertinya hanya si "Binatang Jalang" yang terkenal sebagai pelopor angkatan 45, Padahal yang lainnya tak kalah seru merapat dalam satu barisan.
Siti Rukiah, Utuy Tatang Sontani, Trisno Sumardjo, Asrul Sani, Rivai Apin, Idrus, Achdiat Karta Mihardja dan banyak yang lainnya segera menulis dengan gaya bebas dan mengepalkan tinju yang sama dibalut merah putih.
Para penyair sama-sama menjalak mempertahankan NKRI, agar "kucing bule" dari laut tidak naik lagi ke darat mengoyak-ngoyak republik tercinta.
"Ini barisan tak bergenderang berpalu. Kepercayaan tanda menyerbu. Sekali berarti. Sudah itu mati".
-Diponegoro; Chairil Anwar-
"....kata-kata berantukan pada arti sendiri. Bimbang telah datang pada nyala dan cinta tanah air akan berupa peluru dalam darah".
-Lagu dari Pasukan Terakhir; Asrul sani-
"kalau aku mati nanti, koyak-koyak tubuhku, habis ditusuk musuh, kumpulkan sisaku, tanamkan, tak mengapa, asal di bumi tanah-airku,
‘ku puas sudah, melepas lelah, dalam pangkuan ibu, damai, kembali ke tempat kelahiranku".
-Pesan Prajurit; Trisno Sumardjo-
Gagasan mereka terekspresi dengan beragam gaya bahasa, namun sedemikian kental dengan keyakinan, keikhlasan kalau berkurban demi tanah air akan mencapai kebahagian di hari kemudian.
Menjadi catatan ketika penyair angkatan 45 berciri individualisitis bisa bersatu dalam gagasan yang sama. Melepaskan diri dari penjajahan dan mempertahankan kemerdekaan menjadi semangat bersama.
Puisi Perjuangan di Zaman Digital
Seandainya kita tak bisa merumuskan apa yang sebenarnya dihadapi di zaman digital ini, puisi dan tulisan-tulisan angkatan 45 maupun angkatan masa lalu lainnnya, menjadi sekedar karya sastra yang hanya bergairah di lomba puisi dan menjadi menu diskusi mengenang kehebatan mereka.
Di zaman now kita tidak lagi menghadapi penjajah yang tolol menakut-nakuti kita dengan senjata. Imprealisme sudah bersalin rupa, membuat diri kita malas dan hanya mau jadi konsumen; Sekedar suka membacakan karya sastra hebat milik masa lalu dan bangga diskusi sastra kita dihadiri satrawan luar negeri.
Karya sastra sejatinya bukan hanya sekedar mencatatkan prestasi mengulik gagasan dan mengekspresikannya dalam keterampilan bahasa. Tapi menjadi sabda alam semesta yang mampu mempengaruhi perilaku, mengembalikan kita sebagai bangsa yang berbudaya.
Puisi atau produk sastra bukan alat komunikasi seperti gadget yang mesti dibeli, tapi perangkat lunak yang disediakan jiwa untuk berkomunikasi dengan kehendak alam semesta. Syair dan mantra sudah mencatatkan diri sejak dulu sebagai perangkat seperti ini.
Puisi perjuangan di zaman digital bisa merupakan jaringan tanpa gadget.
Coba saja bacakan puisi-puisi karya generasi milenial atau gen-Z dan diskusikan dengan bangga. Mereka juga sedang menuliskan "puisi perjuangan" nya. Senyinyir apapun yang mereka tuliskan tetap merekam semangat zamannya. Mereka sedang mencoba menghayati arti kemerdekaan dan merasa "tak perlu sedu sedan itu".
Comments