Sangkuriang yakin wanita yang dia cintai itu bukan ibunya. Tapi kenyataan lebih pasti kalau gadis yang dia cintai memang ibunya. Yang nonton kadung sudah tahu kalau cerita sangkuring memang seperti itu. Penonton tidak bertanya mengapa sesakti itu Sangkuriang tidak waspada terhadap perasaan kasmarannya.
Ego
Penonton juga pasti tidak mau kalau harus hanyut dengan keyakinan Sangkuriang. Apalagi penonton begitu yakin aib apa yang akan terjadi kalau sampai anak menikahi ibunya. Jadi Sangkuriang terpaksa harus dibuli oleh keyakinan dan harapan penonton.
Kalau kita sudah kadung dimakan cerita apalagi itu sebuah legenda, masih mungkinkah kita mencoba menyebrang atau menyelami kemungkinan lain, kasarnya berpihak pada Sangkuriang?
Paling tidak mempertanyakan mengapa kemarahan Sangkuriang sampai bisa menendang perahu besar hingga menjadi gunung tangkuban perahu? Yang jelas sangkuriang juga tak kalah yakinnya dengan Dayang sumbi yang bisa mempercepat munculnya fajar sebelum sangkurianng menyelesaikan perahu dan danaunya.
Atau selalu saja sebenarnya persoalan yang mengemuka itu sederhana. Hitam putih. Kompleksitasnya bisa merambat kemana-mana bahkan bersalin rupa. Tuhan yang maha baik sekaligus pemilik kebaikan niscaya sudah ambil bagian sejak awal. Tapi begitu maha lembutnya dia hingga dirasa lebih hebat menumpahkan kemarahan daripada meraba kelembutannya.
Memang syetan juga diciptakan untuk jadi pakar tipu daya. Walhasil banyak yang tertipu, mengira kalau syetan punya target membuat manusia jadi atheis. Hay,hay sejak diusir dia tidak pernah dikabarkan meninggal dunia. Dan alasannya dia terusir karena sombong tidak mau bersujud kepada adam.
Kesombongan bisa dilakukan oleh siapapun, termasuk oleh orang yang paling fasih kitab suci. Kalau kemarahan masih bisa punya alasan, maka kita makin yakin dengan janji Tuhan. Kalau syetan memang penuh tipu daya.
Memang syetan juga diciptakan untuk jadi pakar tipu daya. Walhasil banyak yang tertipu, mengira kalau syetan punya target membuat manusia jadi atheis. Hay,hay sejak diusir dia tidak pernah dikabarkan meninggal dunia. Dan alasannya dia terusir karena sombong tidak mau bersujud kepada adam.
Kesombongan bisa dilakukan oleh siapapun, termasuk oleh orang yang paling fasih kitab suci. Kalau kemarahan masih bisa punya alasan, maka kita makin yakin dengan janji Tuhan. Kalau syetan memang penuh tipu daya.
Cerita ego
Tapi cerita Sangkurian ini ga sekedar cara bijak nenek moyang kita menjawab anaknya bertanya soal asa muasal gunung tangkuban perahu. Karena kalau sesederhana itu cerita Sangkuriang sudah musnah sejak televisi mulai nongol.
Mungkin saja cerita ini jauh meraba ke masa depan. Dimana kita menemukan kedasyatan otak kita. Di zaman internet ini medsos-medsos yang kita pakai untuk eksis-eksisan punya server yang aduhai gedenya.
Fb aja sampai punya beberapa tempat sebagai center data. Contohnya center data yang ada di kota Lulea, Swedia dekat kutub utara yg digunakan fb sejak tahun 2013.
Bangunan data ini memiliki luas 300Ć100 meter. Itu baru satu. Fb punya beberapa center data di tempat lain.
Nah otak manusia katanya punya penyimpanan yang ga ada batasnya. Segede kelapa itu isinya ternyata tak terkira. Malah sampai sekarang tetap menjadi teka-teki.
Baru nyadar seperti itu aja manusia sudah menciptakan komputer. Dan sampai hari ini urusan manusia apa yang tidak memakai barang satu itu? Bahkan komputer sudah ga layak disebut barang.
Dia hidup bersama-sama manusia. Bukan saja sebagai pelayan. Otak dan perasaan manusia sudah mulai diambil alih olehnya. Manusia enggan berfikir karena tinggal cari di google. Cukup ngirim emotikon kalau senang atau berduka di medsos.
Pantes manusia diem-diem suka dibisikin setan kalau tuhan itu ga ada, kecuali dirinya, diri manusia itu sendiri. Karena otak manusia seperti center data tak terbatas. Bukankah yang tak terbatas itu tuhan, mang?
Sangkuriang memang tak mampu bicara tentang 86 miliar neuron dan 100 triliyun koneksi sinaptik di di dalam otak di kepalanya. Tapi dia berani kabur dari kemarahan ibunya, lantaran Sangkuriang melukai seekor anjing. Lalu menguasai bangsa jin dalam pelariannya.
Tak ada rotan akar pun jadi. Ga ada dunia internet dunia jin pun bisa. Ini sebuah kemampuan memamfaatkan lahan tak terbatas di otak untuk mencipta.
Nenek moyang kita memilih mengembangkan lahan di dalam otak. Sehingga Sangkuriang tidak pernah dituliskan secara baku bagaimana cerita sebenarnya.
Ego Milik Manusia
Ini legenda Manusia yang mampu berkembang. Bukan manusia yang menyandarkan dirinya pada peralatan yang dia ciptakan. Lalu akhirnya jadi konsumen yang tambun dan tak berdaya meneruskan perjalanan.
Kalau otak dipercaya sebagai memori yang tak terbatas bahkan masih menyimpan misteri. Apa ga kepikir kita sedang dipacu untuk terus berjalan alias berkembang?
Disitu cerita Sangkuriang melegenda. Gunung Tangkuban perahu butuh sekian abad lagi berubah bentuknya menjadi lain. Sehingga fungsinya sebagai pengingat atau penanda tak akan cepat lapuk.
Nenek moyang ingin fokus pada sdmnya yang bisa melakukan perubahan cepat karena kemampuan otaknya.
Sangkuriang jaman now bisa saja wadia baladnya bukan jin. Dia bisa menggunakan dunia maya yang lebih luas dan power full. Dunia yang sudah dikomputerisasi. Bahkan membuat alam semesta menjadi mini.
Kalau kita menganggap jin dalam cerita sangkuriang itu sekedar imajinasi. Apa bedanya dengan Mars yang kabarnya bisa didiami ? Keduanya kita peroleh dari cerita dan gambar yang bisa saja direka.
Kalau kita ga mengalaminya langsung apa itu bukan cerita? Ketika kita ga mau tahu dan membiarkan cerita itu ada, apa sebutannya kalau cerita itu bukan sekedar legenda?
Yang jelas ketika Sangkuriang kurang ajar ingin mengawini ibunya, ada sebuah pelajaran penting bagi pencapaian kebebasan atas kesaktiannya. Kesaktian manusia karena kemampuan otaknya.
Bahwa ada batas yang tidak bisa dilanggar. Seluas-luasnya otak menyimpan memori dan kemampuannya untuk mencipta segala hal. Dia hanya sebesar tempurung kepala.
Dia hanya sekerdil ego walaupun bisa menendang perahu besar menjadi sebuah gunung. Gunung tangkuban perahu, gunung yang mirip perahu telungkup.
Karena ego akhirnya tak berdaya, telungkup macem orang kalah, walaupun luasnya 1.538,79 hektar, seluas gunung Tangkuban Perahu.
Ada otak lain yang lebih besar yang sekarang juga dianggap sekedar legenda. Otak yang selalu menjaga segalanya alami ada dalam keseimbangan.
Sebuah raksasa data yang langitnya tak terbatas. Warna birunya hanya pendaran dari aktifitas atmosfir. Dia menjadi saksi dan bereaksi atas perilaku yang terjadi
Bukankah kadang dia berubah warna saat badai menghempas bumi. Dan warna birunya hilang ketika kegelapan menyelimuti bumi.
Jangan-jangan warna langit adalah sebuah eksfresi jujur dari sang penjaga keseimbangan. Dia tetap ga ingin tampil garang, walau amarah tak tertahankan.
Kalau ada orang yang terkulai dalam pemahaman secerah ini. Mungkin diam-diam dia geram.
Akhirnya Jadi Puisi Ego
Kenyataan seperti itu yang ingin diungkap puisi di bawah ini.
Langit Menjadi Garang
Hanya langit yang menggeram
mencurahkan setiap dendam
Bau anyir itu hanyut dalam lolongan panjang
Srigala yang mencengkram
cahaya
di setiap lorong
rintihan,
erangan, habis dalam
sekali teguk
nafsu demi nafsu
Surga menjadi harga mati yang mencengangkan,
karena setiap langit menjadi garang
1 Januari 2013
Comments