Alam bagi seorang penulis puisi menyediakan banyak bahan untuk mewakili emosi dan perasaannya.
Pernahkah kita mempertanyakan mengapa ketika terjadi hujan badai ada perasaan takut dalam diri kita.
Mengapa ada pagi hari yang memberi perasaan segar? Mengapa ada malam yang membawa rasa kantuk dan menyelimuti kita dalam istirahat?
Apakah semua mahluk ini sebenarnya satu rasa atau satu tujuan? Atau secara ekstrim kita berfikir, bahwa semua yang nampak ini adalah eksfresi dari sang maha pencipta. Di perjalanan ini kita sedang tak henti-hentinya diberi pelajaran tentang emosi, tentang nafsu, tentang diam. Tentang ketenangan yang bisa dibangun bahkan dari kekacauan.
Kita terlalu pandir kalau menganggap kebenaran itu hanya dari ayat-ayat yang tertulis. Selain kita lebih banyak mengantuk membacanya, kita lebih sering menganggap tulisan itu juga jimat, malah mungkin berhala. Dulu waktu kecil ada yang mengajarkan kalau ayat-ayat tertulis itu dibakar dan dijadikan segelas kopi lantas diminum, kita akan pintar.
Entah apa yang mulai menyesatkan, si penafsir ayat-ayat tuhan atau tulisan itu sendiri yang sudah berumur berabad-abad. Yang jelas ketika tuhan berfirman menciptakan langit dan bumi itu nyata. Kita bisa melihat dan merasakannya. Tuhan seantiasa mengajarkan hal-hal yang nyata. Bukan hayalan bukan sesuatu yang diduga-duga.
Pernahkah kau membaca langit,
ketika rindu bagai mega?
Beriak memecah matahari
Kau akan limbung,
membabi buta
dalam galau yang berderit
Lalu kau menyapa
dalam langit yang berjelaga
Begitu kelam
Namun
kau tetap terjaga,
karena angin bersenandung lagu cinta
15 Januari 2013
Comments