Tahun politik, begitulah istilahnya kalau pemilu sudah dekat. Padahal dua tahun sebelumnya juga sudah gaduh di media sosial. Dunia maya tempat paling rapih untuk lempar batu sembunyi tangan. Walau akhirnya rada gentar dengan jejak digital. Tapi kalau kelewat banyak caci maki sekian ribu jejak harus dihitung, karena tempat terbatas dalam jeruji.
Lembaga survey lebih sibuk mengkalkulasi data masyarakat untuk mencari tahu siapa yang bakal muncul menjadi pemenang pemilu. Siapa yang berani melakukan survey berapa banyak yang percaya kalau di dunia maya juga tuhan tetap ada. Tuhan pasti punya jejak digital. Tapi boro-boro diakui lebih canggih dari cybercrime diakui hadir di dunia maya juga tidak. Lihat saja pemilu masih dua tahun lagi tapi komentar-komentar tidak pantas dan caci maki sudah memenuhi dunia maya di konten politik.
Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi begitu ngilu untuk diucapkan. Tuhan yang sudah memproklamirkan diri lebih dekat dari urat nadi sedang ditolak ramai-ramai dan ditempatkan cuma di ruangan ibadah. Semua itu dilakukan hanya untuk memuaskan syahwat politik. Betapa puasnya mencerca dan mencaci yang lain dengan nama samaran atau akun palsu. Fake account ini gentayangan hampir di setiap lini di dunia maya, tak segan membuat hoaks dengan berita yang diputarbalik, bahkan dengan sadis membuat fitnah. Tidak jarang mengatasnamakan tuhan untuk menyerang yang lainnya. Tuhan dianggap gaptek atau malah tidak ada di dunia maya.
Sekarang pendaftaran calon presiden dan wakil presiden sudah ditutup. Muncul tiga pasangan calon presiden dan wakil presiden. Tiga pasangan putera terbaik bangsa yang mempunyai cita-cita yang sama agar Indonesia maju. Akankah Indonesia maju kalau kita menyambutnya dengan saling mencela dan berlomba-lomba saling menjatuhkan.
Menolak kebaikan dari orang lain saja sudah akan jadi masalah apalagi menolak kebaikan yang begitu besar tentang kedekatan kita dengan tuhan. Bukankah setiap kali kita akan melampiaskan nafsu ada pilihan sebaliknya untuk tidak berbuat seperti itu? Pertimbangan seperti itu tidak pernah ada suara dari langit, melainkan datang begitu saja dari diri kita sendiri. Hampir setiap waktu kita tolak kedekatan itu. Di setiap momen perbedaan kita merasa puas menghajar yang lainnya, padahal kita sedang menganiaya diri sendiri. Setiap yang kita lontarkan tentu adalah bumerang, bom waktu yang kita aktifkan sendiri.
Maka akan menjadi berarti kalau kita renungkan sebuah kalimat, berpikir sejenak lebih berharga dari pada ibadah seribu tahun.
Tahun politik akan disertai gonjang-ganjing yang dimuntahkan dari dunia maya dan pernak pernik medsosnya. Bila keadaan itu semakin gila maka suvey membuktikan, Ketuhanan Yang Maha Esa masih ngilu kita ucapkan.
Begitulah kau sebenarnya
Agamamu lidah tak bertulang, diam-diam kau mengigau dengan lidah bercabang seperti ular
Kerap kali kau kemayu dengan gincu merah mengobral khotbah erotis
Kau begitu seksi menjadi bintang dan membuat orang masturbasi
Begitulah kau sebenarnya
Negerimu di atas awan lalu, diam-diam kau tanami dengan impian dan hayalan seperti kecanduan
Menjadi pemabuk yang mengharamkan alkohol
Kau begitu ahli bermain api, tapi tak punya nyali
Begitulah kau sebenarnya
Mulutmu begitu fasih mendaulat tuhan, sementara tuhan dalam hatimu tak pernah bersilat lidah
Besar mulut seperti tukang obat yang sakit
Kau menanam ranjau yang kau ledakkan dengan mulutmu sendiri
Begitulah kau sebenarnya
Comments