Puisi tentang laut atau yang bernuansa laut dan konotatif dengan laut
selalu tak habis menjadi inspirasi. Sampai kini Lautan tetap menjadi
sebuah tanda tanya besar. Lautan memiliki luas 70 persen dari ruang kehidupan di Bumi dan baru lima persen saja bagian dari lautan yang pernah dieksplorasi oleh manusia. Manusia lebih tertarik untuk mengeksplorasi ruang angkasa, karena lebih mudah daripada harus menaklukan tekanan air laut yang makin dalam makin besar.
Laut Merupakan Pertanda
Menurut Oceana, manusia masih bisa menyelam pada kedalaman 40 meter agar bisa menahan tekanan air laut. Lebih dari kedalaman itu manusia harus dibantu peralatan khusus karena tekanan air laut di kedalaman itu sudah diatas ambang batas kemampuan manusia.
Apakah ini pertanda kalau manusia pada akhirnya harus tengadah dengan kedua tangannya yang perkasa untuk berserah diri pada kemauan yang lebih tinggi? Atau bisa jadi terlalu pongah untuk menukik ke dalam dan mempertanyakan diri sendiri? Padahal ruang paling penuh kebahagiaan dengan keyakinan ada di kedalaman diri.
Jadi ingat pesan Almarhum Ki dalang Asep Sunandar Sunarya,
“ Ulah nuduh kanu jauh, ulah nyawang kanu anggang. Nu caket geura raketan, nu deukeut geura deuheusan. Moal jauh tina wujud, moal anggang tina awak. Aya naon jeung aya saha dina diri sorangan? Cirina satangtung diri. Pek geura panggihan heula ku sorangan. Ulah waka nyaksian batur; saksian heula diri sorangan. Ari elmu teh kanyaho. Lamun geus nyaho bakal ca’ang. Lamun geus ca’ang bakal nya’angan ”.
Kalau diterjamaahkan bebas dalam bahasa Indonesia kira-kira seperti ini,
"Jangan menuduh yang jauh, jangan menerawang yang berjauhan. Yang dekat segera datangi, yang dekat segera akrabi. Tidak jauh dari wujud, tidak renggang dari badan. Ada apa dan siapa dalam diri sendiri? Cirinya setinggi badan sendiri. Silahkan temui dulu sendirian. Jangan dulu menyaksikan orang lain, saksikan dulu dalam diri sendiri. Ilmu itu pengetahuan. Kalau sudah tahu pasti terang benderang. Kalau sudah terang akan menerangi".
Laut sendiri sering begitu kelihatan garang di permukaan. Bisa menimbulkan ke kacauan yang dasyat bila ombak sedang besar, tapi begitu menyelam ke kedalaman semuanya damai sentosa.
Kedalaman yang Berbahaya
Di kedalaman banyak ikan beraneka ragam, ada sekitar 2 juta spesies hewan laut belum teridentifikasi. Baru 10 peresennya saja yang bisa diidentifikasi manusia. Malah ternyata ada ikan yang sanggup hidup di kedalaman laut yang tekanan air lautnya berbahaya bagi manusia.
Di palung Izu-Ogasawara, Jepang, yang merupakan salah satu palung terdalam di dunia ditemukan spesies ikan Pseudoliparis belyaevi, sejenis ikan siput, pada kedalaman 8.336 meter.
Para ilmuwan jepang mencapai kedalaman itu dengan robot yang dilengkapi kamera dan umpan ikan mati. Kamera menangkap ikan Pseudoliparis belyaevi terlihat mengerubungi umpan itu.
Menyelam ke kedalaman laut memang perlu alat bantu yang membuat kita mampu memasukinya dengan aman. Para ilmuwan laut mungkin hanya sedikit orang yang penasaran dengan kehidupan di kedalaman laut. Tidak segila para petualang ruang angkasa yang nilainya bisa dijual segera.
Kalau ada hal yang lebih mudah mengapa harus repot dengan hal yang rumit dan punya banyak resiko, hanya untuk membuktikan bahwa di kedalaman paling ekstrimpun ada kehidupan.
Nasib Para Penjelajah Diri Sendiri
Begitupun dengan para penjelajah diri sendiri. Kedalaman itu sama sekali tidak seksi. Siapa yang suka menelanjangi diri sendiri dan mempertontonkannya? Lebih bergairah menelanjangi orang lain dan menontonnya. Kebanyakan orang juga menyukai hal seperti itu. Betapapun itu sebenarnya terasa salah, karena kelap-kelip kesadaran kita menggugat:
"Dan jika kamu mengikuti kebanyakan orang di bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Yang mereka ikuti hanya persangkaan belaka dan mereka hanyalah membuat kebohongan".
Tapi begitu haus kita menjadi orang terkenal dan disukai banyak orang. Meski harus menjual kebaikan dengan sejumput pujian. Kita lebih suka memoles permukaan karena begitu ramai dengan tepuk tangan. Biarpun untuk itu kita harus memakai kostum badut atau membeli kosmetik mahal.
Meski di permukaan ini sering terjadi pro kontra, tapi itu ibarat busa di lautan. Terombang ambing dalam kemeriahan. Semua keramaian itu bisa dimonetize. Bahkan pro kontra itu sengaja ditiupkan, karena di permukaan selalu butuh gunjingan. Jangan sampai orang-orang baperan tidak ada kerjaan untuk bahan ghibah di medsos. Mereka sponsor utama bisnis modern ini. Maka mainkan terus semua drama, meralkan menjadi beratus episode agar penonton termehek mewek.
Sedangkan menukik ke dalam diri harus meninggalkan penggemar. Tidak akan ada lagi gemerlap pesta penyambutan. Tidak ada lagi kebanggan. Tidak bisa lagi kita memakai kostum dan kosmetik yang kita banggakan. Tidak ada lagi pameran keberhasilan.
Sungguh mengerikan, begitu sepi, dingin mencekam.
Di kedalaman ini kita memang harus sendirian. Telanjang seperti bayi adam yang tak berayah dan beribu. Membiarkan kehidupan di kedalaman itu yang memberi bimbingan benar dan salah.
Di permukaan kita bisa merasakan bimbingan itu begitu sayup-sayup. Bahkan sering kita abaikan. Keberhasilan dalam berbagai hal kita daulat sebagai kelebihan dan keberhasilan kita. Kesombongan ini bisa punya dalil yang shoheh. Bahkan bisa tampil seperti sosok malaikat.
Menemukan kesadaran dalam diri sendiri memang petualangan ke kedalaman yang paling dianggap berbahaya. Syetan siap mengerahkan seluruh pasukannya agar manusia tidak sampai ke kedalaman itu. Syetan ingin punya teman yang sama-sama merasa lebih baik dari makhluk lainnya.
Dan manusia lebih banyak materinya untuk itu.
Ternyata
Ternyata
Kau menuliskanku di atas air yang mengalir kelautan
Hanya
saja harus berliku menelusuri hutan
Katamu
bumi hanyalah hamparan pencarian
Bagi setiap musafir yang kedua
tangannya tengadah
Menghitung
dosa dalam setiap tetes air mata
Di atas sajadah
yang
terhampar di setiap malam
di
setiap biji tasbih
di
setiap tahmid
di
hitungan tahlil
Di
takbir yang tak bosan melangit