Meski harus berperan melawan hati nurani".
Kita memang sudah beretika dalam budaya Indonesia sehingga harus ikut-ikutan negara maju, nyuruh calon presiden dan wakilnya berdebat ditonton ramai-ramai. Jangan tanggung, all out jadi plagiat.
Biar sekalian lucu kalau fakta kita punya bonus demogarafi hanya jadi slogan, bahkan menu kampanye di panggung politik , sementara generasi produktif itu tidak mendapat tempat untuk membangun gagasan Indonesia maju.
Etika yang Sudah Berkarat
Generasi produktif itu adalah generasi muda yang punya caranya sendiri untuk berdebat. Kalau kemudian dicap tak beretika, mungkin etika kita sudah berkarat dan sakit ketika dibersihkan.
Masa lupa generasi muda yang menguasai pemilih di pemilu 2024. Mereka yang akan menguasai panggung kehidupan Indonesia.
Panggung politik mah cetek apalagi panggungnya berisi politisi bangkotan yang gampang termehek-mehek.
Ga apa-apa kita sudah berencana jadi negara maju di tahun 2045. Jadi bobotoh etika yang sudah pada sepuh belum tentu pada tahu di tahun itu etika rumusnya sudah tidak seperti norma di kepala mereka.
Etika kan bukan film horor yang menegangkan tapi sama sekali tidak bertanggungjawab kalau dipakai tanpa resep dokter.
Memang tidak sakit, ketika etika kita blow up untuk berebut suara dalam pesta demokrasi? Etika kita ini seperti apa, ketika budaya orang dipajang lalu dinilai dengan kaidah etika kita?
Ketika suara paslon kita dirugikan oleh acara debat, maka segera etika dipakai nyambit untuk tawuran di medsos. Hiruk pikuk penuh sesak dengan berbagai bahasa fitnah yang membabi buta.
Rajin sedikit kenapa? Lihat berapa peresen rakyat Indonesia yang nonton debat dan rajin mengikuti celoteh jurkam di medsos. Perdebatan yang intelek dan akademis sehebat apapun tak bisa menyentuh akar rumput yang tiap hari lebih akrab dengan kebutuhan makan ketimbang harus ikut ribut, membuat definisi baru soal etika.
Ketika seorang caleg untuk DPRD kabupaten/kota harus menyiapkan dana sampai 1 miliar untuk kampanye, masihkah etika akan berkilau suci untuk dibicarakan?
Atau tudingan dan diskusi soal etika ini jangan-jangan hanya serpihan dari karatan etika yang sedang dibersihkan dan mengalami tata ulang yang tidak menyenangkan.
Ada yang Suka Etika?
Kata Pa Jimly Asshiddiqie,
"etika itu samudra dan hukum adalah kapalnya".
Dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung. Dijamin kalau sudah duduk lupa berdiri, terlalu berat kalau mau berpijak. Konon bumi itu material yang punya sifat lembam alias Tidak tangkas, lamban, dan malas.
Kata guru gembul,
"Saya tidak percaya pada gagasan atau sistem ideologi tertentu. Saya tidak percaya dan saya cenderung menolak pada semua yang namanya isme: feminisme, nasionalisme, komunisme, liberalisme dan semua isme-isme itu saya tolak, termasuk juga gagasan-gagasan semacam demokrasi.
Kenapa seperti itu? karena pertimbangan saya adalah bahwa isme-isme itu atau ideologi-ideologi itu berpusat pada etika bukan pada sains dan karena berpusatnya pada etika maka dipastikan ujungnya itu pasti Utopia dan prosesnya itu pasti gimik belaka..."
Etika itu disebut sebagai filsafat moral, sebuah cabang dari pohon filsafat yang berbicara tentang tindakan manusia. Etika adalah pengetahuan baik dan buruk, hak dan kewajiban moral.
Sepertinya semua orang bisa punya ukuran untuk barang yang satu ini. Sehingga bisa memompa perdebatan panjang. Khususon disaat pemilu 2024, uang panas yang beredar dipakai para paslon dan caleg untuk modal kampanye, segera memompa prasangka bertiwikrama jadi fitnah.
Media sosial seolah padang kurusetra tempat palagan Bharatayuda. Walaupun sebagian kecil saja orang Indonesia yang suka wara-wiri ikut saling caci maki di medsos.
Insyaalloh biarpun jumlahnya sedikit tapi paling kreatif membuat kegaduhan. Coba saja seorang yang asli liberal disuruh hadir di arena. Mungkin dia akan terheran-heran, karena ada yang lebih liberal dari liberalisme.
Senjata di Panggung Politik
Salah satu senjata yang paling mungkin dipakai menyerang saat hukum tak ada yang terlanggar di masa kampanye tentu saja pelanggaran etika. Lahannya sangat luas dan tak bertuan untuk diobok-obok.
Seorang calon presiden atau caleg harus bisa lolos dari pertempuran paling bengis ini. Pesta demokrasi bisa berubah jadi pembunuhan karakter. Kawan dan lawan punya nilai yang sama untuk bisa dimamfaatkan.
Sama peresis dengan nasib etika. Boro-boro barang yang nilai ukurnya bebas, Tuhan saja bisa diklaim dan dikurbankan dalam rangkaian dalil dan caci maki. Meski jeritannya terdengar di setiap dada.
Ini memang perang Bharatayudha. Kalau kita renungi, perang ini bukan saja perang saudara antara Kurawa dan Pandawa, tapi lebih jelas perang dengan diri sendiri.
Trend senjata canggih untuk pemilu tahun 2024 adalah etika. Senjata fleksible dengan kemampuan ganda, karena tak terlihat namun kononnya cuma terasa. Atau bisa digunakan dengan gaya VOC, politik belah bambu, injak bawahan angkat atasan.
Mayoritas masyarakat dianggap bodoh padahal lebih pintar dalam mencari makan. Lebih baik jadi penonton ceria panggung politik ketimbang jadi aktor politik yang piawai dengan segala peran hanya untuk sesuap nasi.
Walaupun masyarakat suka juga jadi penggembira malah ikut bertepuk tangan. Tapi mereka tetap penonton, sponsor terbesar suara tuhan yang sedang diperebutkan.
Mereka tahu di panggung politik banyak aktor handal saling mencaci tapi di bawah panggung mereka saling mencari. Para aktor ini tidak punya lahan lain kecuali menjadi bintang panggung.
Meski harus berperan melawan hati nurani.
Comments